Maria F. Christina
Di sebuah keluarga memiliki 2 orang anak.
Mereka bernama adalah Larrisa dan Stefan. Mereka berdua memiliki karakter yang
sangat berbeda. Stefan yang menjadi anak pertama di keluarga itu memiliki
karakter yang selalu aktif, patuh pada kedua orang tua dan selalu mendapat
prestasi di sekolahnya. Sedangkan Larissa memiliki karakter yang pendiam, tertutup
dan ia tidak pernah mendapatkan prestasi di sekolah. Walaupun kedua anak mereka
memiliki karakter yang berbeda,perlakuan dari mereka pun juga berbeda. Kedua
orang tua mereka justru lebih menyayangi Larissa dan mereka cenderung
menganggap Stefan sudah bisa dewasa dan mandiri. Mereka ingin agar Larissa
menjadi anak yang mau terbuka pada kedua
orang tua. Tapi tanpa mereka sadari hal ini justru menjadikan kecemburuan di
hati Stefan. Tiap malam sebelum adiknya pergi tidur orang tuanya selalu datang
ke kamar untuk menanyakan apa saja yang telah Larissa alami dan lakukan dalam
sehari. Walaupun begitu Larissa tetap menjadi anak yang tertutup dan tidak mau
bercerita pada kedua orang tuanya, tapi kedua orang tuanya tidak menyerah dan
terus melakukan kebiasaan itu sebelum Larissa pergi tidur. Tapi sebaliknya jika
Stefan sedang memilki masalah dan ingin bercerita pada kedua orang tuanya.
Mereka selalu menganggap Stefan sudah dewasa dan mampu mengatasi masalahnya
sendiri. Hal ini tentu membuat Stefan merasa sedih dan merasa kurang mendapat
perhatian. Sejak saat itu Stefan yang semula menjadi anak yang aktif, kini
berubah menjadi anak pemurung dan suka mengurung diri di kamar.
Suatu ketika saat jam pelajaran
Matematika Pak Adi mendadak mengadakan ulangan. Akhirnya suasana di kelas pun
menjadi sangat ribut. Para murid merasa belum siap mengerjakan ulangan. Tapi
berbeda dengan Stefan yang merasa tenang ketika
akan mengerjakan ulangan. Saat mengerjakan ulangan tersebut Pak Adi
menunggu sedang ada keperluan sehingga harus meninggalkan kelas. Stefan yang
biasa mengerjakan dengan tenang, konsentrasinya mendadak menjadi buyar karena
banyak dari teman sekelasnya yang meminta contekan jawaban. Stefan pun berusaha
focus pada pekerjaannya, tapi kemudian dia dilempari sebuah kertas kecil oleh teman
yang ada di belakang. Stefan pun tidak tahu apa isi kertas tersebut. Lalu ia
membuka kertas tersebut. Saat Stefan membuka kertas tersebut, tiba-tiba pak Adi
masuk ke dalam kelas, dan melihat Stefan sedang membuka kertas itu. Stefan pun
terkejut saat melihat Pak Adi berdiri di hadapannya. “Stefan, saya tidak
percaya kalau kamu sudah berani mencontek?” Kata Pak Adi dengan nada tinggi.
Stefan pun menjadi panic dan hanya diam tidak berani menjawab. Seluruh siswa di
kelas itu menjadi terdiam. “Baiklah Stefan, nanti setelah kamu selasai
mengerjakan ulanganmu kamu ikut saya ke kantor! Anak-anak yang lain silahkan
kalian` mengerjakan dengan tenang!” Kata Pak Adi dengan nada tinggi.
Jam bel istirahat pun berbunyi tandanya
jam pelajaran matematika pun berakhir. Para murid yang lain meninggalkan kelas,
sedangkan Stefan masih harus berurusan dengan Pak Adi. “Jadi benarkah Stefan apa yang saya lihat
tadi?” tanya Pak Adi. “Sebelumnya saya minta maaf, tapi sebenarnya saya sendiri
tidak tahu menahu mengenai kertas itu. Saya sendiri berani jujur kalau saya
tidak mencontek, seperti yang bapak kira tadi.” Jelas Stefan dengan tegas. Saat
itu Pak Adi pun terdiam dan mulai berpikir tentang apa yang dikatakan oleh
Stefan. “Oke Stefan,kali ini bapak masih percaya pada apa yang kamu. Tapi lain
kali jika kejadian ini terjadi lagi padamu, jangan berharap saya tidak akan
percaya lagi pada apa yang kamu katakan dan saya akan memanggil orang tuamu!”
kata Pak Adi yang menatap tajam mata
Stefan. “Silahkan sekarang kamu boleh keluar” kata Pak Adi. Stefan pun keluar
dari ruang guru dengan wajah yang lesu. Dani , teman sekelas Stefan tiba-tiba
datang menghampirinya, “Eh Stefan kamu ini pintar juara kelas, tapi masak tadi
mau buka kertas contekan aja bisa ketahuan. Ternyata nggak semua anak pintar
itu cerdik, Dasar!” sindir Dani yang setelah berkata demikian lalu pergi
meninggalkan Stefan. Stefan pun tidak terlalu menghiraukan apa yang dikatakan
Dani, lalu ia pun kembali ke kelas.
Siang
itu setelah pulang sekolah ia pun langsung pulang ke rumah. Saat tiba di rumah
Stefan pun langsung masuk dan mengurung diri di dalam kamar. Di dalam kamar ia
hanya merenungkan apa yang telah terjadi padanya. Ia merasa kalau masalah yang ia
hadapi jauh lebih berat daripada masalah yang dihadapi oleh orang lain. Stefan
pun mencoba untuk membagi pengalaman yang saat itu ia alami dengan kedua orang
tuanya, tapi apa jawaban dari kedua orang tua Stefan? Lagi-lagi mereka selalu
menganggap Stefan sudah dewasa dan mampu
mengatasi masalahnya sendiri. Dan ia juga berpikir kalau sudah tidak ada lagi
orang yang mau peduli dan sayang padanya. Ibarat kata orang sudah jatuh, tapi
masih harus tertimpa tangga, ya mungkin itulah yang ada di dalam pikiran Stefan
saat itu. Stefan pun akhirnya merasa depresi dan ia pun memutuskan untuk
mengurung diri di kamar. Setelah satu jam mengurung diri di dalam kamar
akhirnya Stefan merasa jenuh dan memutuskan untuk berjalan-jalan keluar rumah. Saat
itu ia berjalan-jalan dan duduk di
sebuah taman. Di taman itu ia sedang melihat burung-burung yang ada di sekitar
air mancur. Saat itu Stefan yang sejak awal melamun, tiba-tiba ia dikejutkan
oleh seorang pemuda seumurannya yang duduk di sampingnya. “Halo nama kamu
siapa? Kok kamu di sini sendirian?” tanya pemuda itu yang ternyata hanya
berpura-pura baik pada Stefan. “Aku Stefan, aku di sini karena aku merasa jenuh
dan bête berada di rumah. Kamu sendiri siapa? Dan kenapa kamu ada di sini?”
Jelas Stefan dengan polos. Mendengar perkataan Stefan pemuda semakin berpura-pura baik padanya. “Aku turut
prihatin bro pada apa yang kamu alami. O iya namaku Harry. Aku biasa di sini sama
teman-teman komunitasku.” Jelas Harry yang berpura-pura baik pada Stefan.
“Memang kamu ikut komunitas apa bro?” tanya Stefan yang merasa penasaran. “Aku
ikut sebuah komunitas dimana kami merasa bebas dan tidak ada seorangpun yang
melarang atau mengatur kami dan kami di sini merasa hidup kami bebas dan
bahagia. Gimana kamu mau gabung nggak?”ajak Harry yang sambil berpura-pura
baik. “Nggak usah bro makasih. Permisi aku mau pulang dulu.” Jawab Stefan yang
merasa ketakutan dan ingin buru-buru meninggalkan Harry. “Bro Stefan, Kamu kan belum mencoba, masak
sudah takut duluan? Tenang aja bro Stefan, kamu itu nggak akan diapa-apain kok.
Pokoknya yang penting di sini kita akan bahagia dan jauh dari rasa bête.”
Pancing Harry agar Stefan mau bergabung. Stefan pun yang merasa masih sedikit
takut akhirnya mau bergabung. “Oke deh bro, aku mau gabung.” Kata Stefan dengan
nada yang masih sedikit takut.
Akhirnya
Stefan pun diajak oleh Harry pergi ke suatu di rumah yang sudah ditinggali oleh
pemiliknya. Saat masuk ke rumah Stefan pun disambut oleh Andika dan ketiga
Harry temannya yang lain. Stefan sendiri merasa sangat terkejut saat melihat
ketika bertemu dengan keempat teman Harry. Penampilan mereka sangat tidak
karuan, seperti anak-anak yang tidak terurus
oleh orang tuanya. Di tempat itu pula Stefan melihat ada banyak botol-botol
minuman, kartu dan kulit kacang yang berserakan dimana-mana. Keadaan seperti
ini membuat Stefan berpikir kalau ini bukan komunitas yang baik. Freda yang merupakan salah satu teman Harry tiba-tiba menawarkan
minuman yang sudah dicampur dengan obat tidur, “Eh Stefan, kamu sekarangkan
sudah jadi anggota baru di kelompok ini, jadi ayolah sekarang kamu coba minuman
ini. Untuk menyambutmu di kelompok kita!” Bujuk Freda yang berusaha meyakinkan Stefan
sambil memberi kode pada teman-tamannya yang lain. “Nggak usah makasih aku
sudah kenyang.”jawab Stefan yang berbohong karena sedikt takut menerima tawaran
Freda. “Ayolah Stefan, kamu nggak akan mati kok kalau kamu minum ini.” Jelas
Freda yang sambil meminum minuman yang ada di gelasnya diikuti teman-teman yang
lain yang juga minum minuman itu. “Sekarang kamu lihat sendirikan Stefan
minuman ini nggak membuat kami keracunan atau mati.” Kata Freda yang berbohong
agar bisa meyakinkan Stefan. “Sekarang giliran kamu yang minum. Ayolah!” Bujuk
Freda sekali lagi. Akhirnya Stefan pun terbuai pada bujukan Freda, dan ia pun
meminum minuman itu. Entah mengapa setelah Stefan meminumnya, ia merasa
kepalanya merasa sangat pusing dan tubuhnya merasa sangat lemas. “Rasain lo,
makanya jadi anak laki-laki jangan mudah dibodohi! Akhirnya sekarang lho tahu
sendiri kan siapa kami? haha” Kata salah satu anggota kelompok itu yang setelah
berkata demikian lalu meludah di muka Stefan. Setelah berkata demikian mereka
keluar dari ruangan itu dan memastikan Stefan dalam kondisi yang benar-benar
lemas. Beberapa menit kemudian mereka masuk lagi dalam ruangan itu dan
mendapati Stefan dalam keadaan pingsan. Menjelang malam hari mereka keluar dari
rumah itu dan berencana untuk membuang Stefan di suatu tempat gelap. Mereka pun akhirnya sampai di sebuah
hutan yang sangat gelap. Sebelum mereka membuang Stefan di tempat itu, mereka
tak lupa mengambil semua barang-barang yang dibawa Stefan. Mereka pun membuang
dan meninggalkan Stefan dalam keadaan pingsan seorang diri.
Stefan
yang merasa tubuhnya sangat lemas berusaha mencari pertolongan walaupun dengan
suara lirih. Saat itu ada seorang pastor muda yang hendak pulang melewati hutan
itu setelah memimpin misa di stasi. Sang Pastor muda itu mendengar ada suara
seorang minta tolong. Lalu pastor muda menyuruh sopir pribadinya untuk
menghentikan mobil dan mencari sumber suara itu berasal. Akhirnya setelah 1 jam
mencari sumber suara itu, mereka menemukan seorang anak muda tergeletak dan tak
sadarkan diri. Pastor muda itu akhirnya memutuskan untuk membawa Stefan di
gerejanya agar bisa merawatnya sementara waktu sampai kondisinya pulih kembali.
Esok harinya ketika matahari telah
terbit, Stefan pun terbangun dan kepalanya masih terasa sangat pusing. Saat itu
ia melihat matahari pancaran sinar matahari dari balik kaca jendela yang sudah
terbuka. Stefan pun keluar dari kamar dan melihat seorang. Stefan pun yang
belum mengenal orang tersebut ,akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya tentang
siapa orang yang telah menolongnya semalam. “Maaf bapak siapa? Dan mengapa saya
bisa berada di tempat ini? Terima kasih karena sudah menolong saya semalam.”
Tanya Stefan. Akhirnya pastor muda itu mengetahui kalau Stefan sudah bangun dan
mengajak Stefan untuk sarapan bersama. “Selamat pagi anak muda. Perkenalkan
nama saya Fransiskus Abner. Saya seorang pastor di gereja ini. Saya semalam
saat melewati hutan, ada suara seseorang yang minta tolong. Lalu saya dan sopir
saya mencari-cari sumber suara itu selama 1 jam lalu mendapati kamu dalam
keadaan pingsan. Dan saya pun memutuskan untuk membawa kamu ke sini untuk bisa
merawatmu sementara waktu. “kata pastor Abner yang menjelaskan pada Stefan
dengan ramah. “Tapi kalau saya boleh tahu siapa namamu? Dan mengapa kamu bisa
berada di hutan yang gelap itu dengan kondisi tidak sadarkan diri?” Tanya
pastor Abner yang merasa sangat penasaran. Stefan pun menjadi terdiam. “nama saya Stefanus Ryan, Pastor,
ini semua terjadi karena kesalahanku yang telah melakukan hal yang paling bodoh
yang pernah saya perbuat.“ jelas Stefan yang tiba-tiba ingin menangis. Pastor
Abner pun kurang mengerti dengan apa yang dikatakan Stefan.” Memang apa yang
sudah kau lakukan anakku? Sekiranya engkau ingin bercerita, ceritalah saja
anakku. Saya dengan senang hati akan mendengarnya.” Tanya pastor Abner dengan
penuh perhatian. “Pastor, ini semua terjadi karena kesalahan saya. Saya sudah
lama merasa iri hanya karena orang tua saya kurang terlalu memperhatikan adik
saya yang cenderung memiliki karakter pendiam dan tertutup. Sedangkan adik saya
sendiri sangat tidak mau terbuka dengan kedua orang tua saya, tapi mereka
selalu saja mendesak adik saya untuk bisa terbuka. Tapi sebaliknya di saat saya
membutuhkan orang tua untuk bisa berbagi cerita tentang apa yang saya alami,
mereka cenderung menganggap saya dewasa dan mampu menyelesaikan semua sendiri.
Dari situ terkadang saya merasa kurang diperhatikan dengan kedua orang tua
saya. Akhirnya kemarin sore saya memutuskan untuk keluar rumah untuk
menghilangkan kejenuhan dengan masalah saya. Saat itu saya bertemu dengan
sekelompok anak muda yang membujuk saya untuk bergabung dengan mereka. Saya
semula agak ragu dan takut bergabung dengan mereka, tapi apa daya mereka terus
berusaha mendesak saya untuk bergabung, dan akhirnya saya pun terpengaruh untuk bergabung dengan
mereka. Mereka pun akhinya mengajak saya ke sebuah rumah kosong. Di sana saya
dipaksa untuk meminum minuman keras. Setelah meminum minuman tersebut kepala
langsung saya terasa sangat pusing dan saya tak sadarkan diri. Lalu saya tidak
tahu lagi apa yang sudah terjadi pada diri saya. Yang saya tahu tiba-tiba saya
sudah berada di tempat ini. Dan saya juga baru sadar kalau mereka juga sudah
mengambil barang milik saya yang saat itu saya bawa(handphone dan dompet).
Kira-kira begitu.” Jelas Stefan yang menceritakan tentang apa yang sudah
dialaminya. “saya merasa menyesal pastor, karena sudah melakukan hal yang
begitu sangat bodoh dan mengakibatkan saya menjadi seperti ini.” Kata Stefan
yang menyesali tindakan bodoh yang telah dibuatnya.Saat itu pastor Abner yang
mendengar perkataan sangat mengerti apa yang telah diutarakan Stefan. Pastor Abner
sendiri melihat ada suatu ekspresi
penyesalan yang tampak dari wajah Stefan. “Stefan anakku, saya bisa mengerti
apa yang sedang kamu rasakan. Terkadang banyak orang tua itu berpikir bahwa
ketika anak mereka yang sudah dewasa mereka sudah mampu menyelesaikan masalah
mereka sendiri. Tapi ternyata pengertian mereka salah, walaupun anak mereka
sudah berkembang kepribadiannya menjadi dewasa, tapi mereka juga masih
membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari orang tua mereka. Itulah yang
seharusnya menjadi tanggung jawab utama mereka sebagai orang tua. Dan sebagai
orang tua mereka seharusnya mengerti
karakter dari masing-masing anak mereka,
agar mereka bisa memberikan kasih sayang pada anak mereka dengan cara tepat.
Dan untuk kamu anakku, apakah kamu sadar kalau kamu sendiri juga sudah
melakukan kesalahan? Tanya Pastor Abner sambil menafap mata Stefan. “ya pastor,
saya mudah terpengaruh pada bujukan orang yang baru saya kenal.” Jelas
Stefan. “iya benar anakku salah satunya
memang itu, tapi sebenernya ada kesalahan lain yang sudah kamu perbuat. Di saat
kamu mengalami kejenuhan karena kurang mendapat perhatian dari orang tuamu,
kamu keluar rumah tanpa tahu arah dan tujuan yang jelas , sedangkan kondisi pikiranmu
berkecamuk dengan banyaknya masalah yang kamu hadapi. Akibatnya kamu menjadi
sangat mudah dipengaruhi oleh orang yang tidak kamu kenal. Anakku, jika kamu
punya banyak masalah janganlah memendam masalahmu seorang diri. Jikalau kamu
sulit untuk menemukan teman yang bisa kamu ajak untuk berbagi cerita. Sebaiknya
berdoalah pada Tuhan supaya Ia memberikanmu kekuatan dan kesabaran agar kamu
dapat melewati masa-masa sulitmu bersama-Nya. Dan bersyukurlah anakku, walaupun
semua barang kamu bawa saat itu sudah mereka ambil dan mereka juga hampir
membunuhmu , tapi ternyata Tuhan masih menyayangngimu.” Jelas Pastor Abner.
Mendengar perhatian dan nasehat dari pastor Abner Stefan pun merasa lega bisa
mengutarakan isi hatinya dengan orang yang tepat. “pastor, jika suatu saat Stefan
butuh teman curhat apakah pastor mau jadi teman curhat saya?” Tanya Stefan.
“Stefan anakku, selagi saya masih bisa membantumu, saya bersedia menjadi teman
curhatmu.” Jawab pastor Abner sambil tersenyum yang kemudian memeluk Stefan.
Setelah perbincangan mereka selesai pastor Abner pun mengajak Stefan sarapan
bersama.
Setelah Stefan selesai makan dan mandi, ia pun
diantar oleh pastor Abner untuk pulang ke rumah orang tuanya. Sepanjang
perjalanan pastor Abner sesekali memperhatikan wajah Stefan, ia melihat ada
perasaan takut dan cemas saat akan bertemu kedua orang tuanya. “Anakku, saya
lihat dari tadi kamu begitu sangat murung
dan cemas? Bukankah kamu seharusnya merasa senang karena bisa bertemu dengan kedua orang tuamu
lagi?” Tanya pastor Abner yang sedikit memancing Stefan agar mau mengungkapkan
apa yang ada dalam perasaannya. “Stefan takut bertemu papa dan mama kalau-kalau
mereka marah karena mereka tahu kalau Stefan sudah melakukan hal yang paling
bodoh yang pernah Stefan perbuat.” Jawab Stefan dengan jujur. Mendengar
ungkapan perasaan Stefan, pastor Abner pun mengerti apa yang dialami Stefan
saat ini. Akhirnya pastor Abner menghentikan sejenak laju mobilnya. “Stefan
anakku, tenangkan pikiranmu dan berhentilah berpikiran buruk dengan apa yang
akan kamu alami di waktu yang akan datang. Sebaiknya tetaplah berdoalah saja,
karena dengan berdoa kamu akan terhindar dari pikiran-pikiran yang negative.
Tenanglah anakku, semuanya akan baik-baik saja.” Kata pastor Abner yang
berusaha menenangkan pikiran Stefan.
Akhirnya setelah menempuh perjalanan
selama kurang lebih 1 jam, mereka pun akhirnya tiba di rumah. Saat tiba di
depan rumah Stefan. Pastor Abner melihat Stefan terlihat lebih tenang dari
sebelumnya. “Anakku, semuanya akan baik-baik saja. Nanti biar saya yang bicara
dengan kedua orang tuamu.” Kata Pastor yang tersenyum sambil mengelus-elus
kepala Stefan.
Setelah beberapa kali memencet bel
rumah, ternyata yang membuka pintu rumah adalah Larissa. Saat melihat yang
datang adalah Stefan,mucullah ekspresi kegembiraan yang terlihat dari wajah
Larissa. “Mama, papa, Kak Stefan pulang..” teriak Larissa kecil yang merasa
senang kakaknya kembali. Pastor Abner dan Stefan merasa terkejut saat melihat Larissa
kecil begitu sangat antusias ketika bertemu kembali dengan kakaknya lalu ia
memeluk kakak kesayangannya itu. “Kak Stefan, kakak jangan pergi lagi ninggalin
Larissa. Larissa kesepian kalau kakak pergi.”Pinta Larissa dengan polos. Kedua
orang tua Stefan pun masih sibuk mencari info mengenai keberadaan Stefan dengan
para kerabat mereka, mereka pun segera memastikan apa yang dikatakan Larissa.
Mereka pun akhirnya mendapati anak mereka yang semalam hilang telah kembali.
Saat mereka bertemu dengan Stefan, yang terjadi justru ayahnya yang keras itu
cenderung memarahi Stefan habis-habisan. Ayahnya mengusir Stefan dari rumah.
“kamu ini sekarang sudah berani pergi nggak jelas kemana dari kemarin, tapi
ternyata kamu masih ingat kalau kamu masih punya rumah hah! Dasarr anak nggak
tahu aturan! Plakkk !!!! Lebih baik
sekarang kamu pergi dari rumah ini! Dan jangan pernah kembali lagi ke rumah
ini!!” Bentak papa Stefan sambil membanting dengan keras pintu rumahnya.
Melihat kejadian itu suasana menjadi sangat kacau. disisi lain Larissa, adik
Stefan menjadi menangis saat melihat kakaknya yang baru tiba justru malah
diusir dari rumah. Kejadian tersebut ternyata juga telah membuat tetangga
sekitar rumahnya melihat kejadian itu. Pastor Abner yang merasa tidak tega
melihat Stefan diperlakukan seperti itu, bahkan sampai harus disaksikan
beberapa orang tetangganya dan akhirnya memutuskan untuk mengajak Stefan
kembali ke rumahnya sementara waktu dan berencana akan kembali lagi ke rumah
Stefan jika kondisi psikologisnya sudah membaik.
Setelah kejadian siang itu entah mengapa
Stefan yang dulunya menjadi kebanggaan orang tuanya kini ia merasa sangat benci
pada orang tuanya, terlebih ayahnya. Sejak kejadian itu Stefan menjadi anak
yang pendiam dan tidak bisa mengontrol emosi kemarahannya.
Saat malam tiba pastor Abner masuk dalam
kamar Stefan dan melihat Stefan sedang menggambar sesuatu. “Engkau manggambar
apa anakku? Siapa saja yang kamu gambar itu? Dan mengapa gambar 2 orang di
sebelah kiri itu kamu coret-coret dengan warna merah? Sedangkan 3 orang yang di
sebelahnya tidak? ”Tanya pastor Abner yang sedikit merasa penasaran dengan maksud gambar yang
dibuat Stefan.“Stefan sedang menggambar keluarga Stefan. Gambar yang aku
coret-coret itu gambar papa dan mama. Sedangkan gambar yang tidak aku
coret-coret itu Stefan, Larissa dan Pastor Abner” jelas Stefan sambil
menunjukkan maksud gambar itu dengan singkat. Pastor Abner pun sedikit terkejut
dengan arti gambar yang dibuat Stefan. “Anakku, saya bisa mengerti dengan
kondisi perasaanmu saat ini. Tapi tidak seharusnya kamu menggambar kondisi
keluargamu seperti ini anakku. Karena biar bagaimanapun mereka adalah orang
tuamu.” Kata pastor Abner yang dengan sabar berusaha memberikan pengertian
Stefan. “Tapi pastor, kemarin pastor melihat sendirikan? Orang tuaku sudah
mengusirku dari rumah. Stefan sekarang sangat benci sama mereka. Stefan benci
sama mereka. Stefan benci sama mereka, pastor.”Kata Stefan yang merasa sangat
depresi lalu ia menangis dan berteriak sambil meremas-remas kertas yang
terdapat gambar keluarganya dan memecah keheningan malam itu. “Anakku anakku,
tenangkan pikiranmu dan kendalikan emosimu anakku.” Kata pastor Abner yang
dengan penuh perhatian berusaha menenangkan emosi Stefan sambil memeluk anak
itu. Setelah beberapa menit memeluk Stefan dan dirasa emosinya sudah kembali
normal, akhirnya pastor Abner mencoba bicara perlahan-lahan dari hati ke hati
dengan Stefan. “Anakku Stefan, saya
mengerti dengan apa yang kamu alami. Tapi tidak seharusnya kamu begitu sangat
membenci kedua orang tuamu. Saya tahu sendiri bagaimana perlakuan kedua orang
tuamu ketika kamu tiba di rumah, mereka justru mengusirmu bukan malah senang
anaknya kembali ke rumah. Anakku, maafkan semua yang sudah mereka perbuat
padamu.” Kata pastor Abner. “Tapi pastor, Stefan nggak bisa semudah itu
memaafkan mereka.Perbuatan mereka kemarin sudah membuat Stefan menjadi begitu
sangat sakit hati. Stefan sebenarnya mau-mau saja memaafkan mereka, tapi asalkan
mereka dahulu yang meminta maaf dengan Stefan. ” Kata Stefan yang sedikit keras
kepala dan emosinya yang tak terkendali. Mendengar perkataan Stefan , akhirnya
pastor Abner pun mengerti apa yang dalam pikiran Stefan. “Anakku, jikalau kamu
menghendaki demikian biarkan saya yang mewakiili kedua orang tuamu untuk
meminta maaf kepadamu.” Kata Pastor Abner yang sambil memeluk Stefan dan
meminta maaf. “Anakku, maafkan papa nak, papa selama ini kurang memperhatikan
kamu.” Kata pastor Abner yang memeluk Stefan. Melihat apa yang sudah dilakukan
pastor Abner padanya, Stefan pun akhirnya merasa tidak enak dan terharu dengan
apa yang dilakukan pastor Abner. “Pastor,mengapa pastor yang harus meminta maaf
dengan Stefan? pastor kan tidak punya salah sama Stefan, kenapa mesti pastor
yang minta maaf?” kata Stefan yang merasa terharu dengan apa yang sudah
dlakukan pastor Abner. Setelah agak lama pastor Abner memeluk Stefan, sampai
Stefan benar-benar merasa sudah lega. “Anakku, kamu ingat tidak ketika kamu
berbuat kesalahan dan jatuh dalam dosa, Tuhan itu selalu mau mengampuni
kesalahanmu. Bahkan sebelum kamu memohon pengampunan padaNya, Dia sudah lebih
dulu mengampuni kesalahanmu,anakku.” Kata pastor Abner yang menjelaskan pada
Stefan dengan penuh kesabaran sambil menghapus air mata dipipi Stefan.
Mendengar perkataan pastor Abner,akhirnya Stefan pun menjadi terdiam dan tidak
bisa berkata-kata.”Stefan anakku, jikalau kamu masih merasa sulit untuk
mengampuni orang tuamu. Mintalah kekuatan rahmat Allah agar kamu dapat
mengampuni kedua orang tuamu.” Kata pastor Abner.”Ya sudah anakku, sekarang
kamu istirahat dulu saja, mungkin pikiranmu masih lelah karena masih
terbayang-bayang kejadian kemarin,anakku!”
Kata Pastor Abner yang kemudian berjalan keluar meninggalkan Stefan. “Pastor,
tolong ajarkan Stefan untuk bisa mendoakan dan mengampuni kesalahan orang tua
Stefan.” Pinta Stefan. Mendengar permintaan Stefan membuat pastor Abner
menghentikan langkahnya. “Anakku, jikalau kamu menghendaki demikian saya dengan
senang hati saya akan membantumu.”Kata pastor Abner yang kembali menghampiri
Stefan sambil memeluknya. Kemudian pastor Abner duduk di samping Stefan dan
mereka berdua pun mengambil sikap doa yang baik. “Allah Bapa Yang Maha Rahim,
terima kasih karena Engkau selalu mengampuni segala dosa dan kesalahan kami.
Bahkan sebelum kami datang untuk memohon ampun kepadaMu, Engkau sudah lebih
dahulu mengampuni kesalahan kami. Tuhan, ajarilah kami untuk bisa dengan mudah
mengampuni kesalahan orang-orang yang berbuat salah pada kami, terkhusus kami
berdoa untuk Stefan. Tuhan Yang Maha Kasih, berikanlah Stefan rahmatMu, agar ia
bisa dengan tulus hati mengampuni dan memaafkan orang tuanya. Tuhan doa yang
jauh dari sempurna ini akan kami persembahkan dengan perantaraan Yesus,Tuhan
dan pengantara kami. Amin” kata pastor Abner yang memimpin doa itu. Mendengar
doa sederhana yang diucapkan oleh pastor Abner, hati Stefan terasa ada kekuatan
yang menyentuh hatinya. “Pastor, terima kasih sudah mendoakan Stefan.” Kata
Stefan yang akhirnya bisa kembali tersenyum lalu ia memeluk pastor Abner.
“Sama-sama anakku, sekarang waktunya kau harus tidur. Selamat tidur anakku.”
kata pastor Abner yang sengaja memperlakukan Stefan seperti anaknya sendiri
“Selamat tidur juga, papa..”Jawab Stefan. Mendengar Stefan menyebutnya papa,
pastor Abner hanya tersenyum, lalu berjalan keluar meninggalkan Stefan. Setelah
pastor Abner meninggalkan Stefan, Stefanpun yang seorang diri di kamar akhirnya
berdoa sebelum ia tidur. “Allah Bapa Maha Kasih, terima kasih karena Engkau
selalu menyayangi aku. Walaupun aku tahu hubunganku dengan kedua orang tuaku
belum kembali pulih seperti dulu, tapi aku bersyukur Engkau masih mengirimkanku
seorang malaikatMu yang masih mau peduli dan menjadi penolong bagiku yaitu
pastor Abner. Tuhan, aku tidak bisa membayangkan entah dulu bagaimana jadinya
jika aku tidak ditolong oleh orang sebaik beliau, mungkin nyawaku sudah tidak
tertolong lagi. Tuhan, aku mau berdoa secara khusus untuk beliau, berillah
beliau kesehatan, panjang umur, bantulah beliau agar tetap setia pada tugas dan panggilannya sebagai pelayanMu
sampai akhir hayatnya. Dan tidak lupa aku juga berdoa untuk keluargaku. Tuhan,
aku memohon kepadaMu, pulihkanlah kembali keluarga agar kami bisa bersatu akrab
seperti dulu. Tuhan, aku pun dengan tulus hati sudah mengampuni dan memaafkan kesalahan
orang tuaku. Tuhan, doaku yang sangat sederhana ini aku persembahkan padaMu
dengan pengantaraan Yesus Kristus Tuhan kami amin.” Setelah berdoa demikian
Stefan pun tidur.
Esok harinya Stefan memutuskan untuk
bangun lebih awal dari biasanya. Ia kemudian merebus air membuat teh lalu
membuatkan sarapan spesial untuk pastor Abner. Pastor Abner yang baru saja
bangun, mencium bau harum dari sebuah masakan dan terkejut saat melihat sudah
tersedia beberapa makanan tersaji di meja makan. “Anakku, ternyata pagi-pagi
kamu sudah bangun lebih awal. Terima kasih ya anakku, kamu sudah masak semua
makanan ini. Lalu kalau papa boleh tahu masakan apa yang kamu masak ini?” puji
pastor Abner pada Stefan sambil membelai kepalanya. “ iya dong pa, kan special
buat papa. Ini ada sayur soup, ayam gooreng, dan tempe .” Jelas Stefan. “Terima kasih banyak ya anakku,
ternyata kamu bisa masak ya? tapi lain kali kamu tidak usah repot-repot
begini.”Puji pastor Abner sekali lagi. “Stefan tidak merasa direpotkan kok pa.
yang ada malah Stefan yang merepotkan papa karena sudah banyak dibantu dan
boleh menginap di sini beberapa hari.”kata Stefan dengan jujur. “tidak apa-apa
anakku, papa juga senang kamu ada di sini.” Kata pastor Abner.
Hari
demi hari yang dilalui Stefan. Setelah beberapa hari ia tinggal bersama pastor
Abner akhirnya mengalami banyak perkembangan, diantaranya ia berkembang menjadi
pribadi yang semakin mandiri dan peduli. Pastor Abner yang semula mengenal
Stefan dengan tingkat emosi yang tinggi dan mudah sekali marah akibat sakit hati
dengan kedua orang tuanya, akhirnya kini mengalami perubahan. Ketika itu pastor
Abner mengamati Stefan yang menawarkan diri dengan sukarela untuk membantu
merawat tanaman di halaman di kebun belakang. Sambil mengamati Stefan dari
jauh, pastor Abner mendoakan Stefan dalam hati. Abner merasa sangat bersyukur
pada Tuhan, karena walaupun ia seorang imam tapi Tuhan mempercayakan Stefan
untuk bisa ia didik.
Suatu pagi ketika Pastor Abner sedang
mengurus kebun belakang, Stefan datang sambil membawa tas. “Pastor, terima
kasih karena sudah mengijinkan Stefan untuk tinggal di sini. Terima kasih sudah
mendidik Stefan agar menjadi lebih baik lagi. Maaf kalau selama ini sudah
merepotkan pastor.” Kata Stefan yang kemudian beranjak pergi meninggalkan
pastor Abner. Melihat Stefan beranjak pergi, akhirnya pastor Abner membereskan
pekerjaannya dan berniat mengantar Stefan. Sepanjang perjalanan menuju rumah,
ia hanya diam tanpa mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Melihat Stefan yang
sedemikian, pastor Abner hanya diam sambil focus mengendarai mobilnya.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih
satu jam, akhirnya mereka sampai di rumah Stefan. Tiba di rumah, Stefan
disambut oleh pembantunya. Ketika itu Larissa adiknya keluar dari kamar, ketika
melihat Stefan ia merasa senang kakaknya kembali. Larissa pun menngatakan
kerinduannya pada kakaknya yang selama ini. Melihat keakraban antara Larissa
dan Stefan, pastor Abner sangat bersyukur. Ketika mereka sedang bercakap-cakap,
Bi Inah mendadak menjadi sangat panic ketika masuk ke kamar,melihat Bu Ane
muntah-muntah di kamarnya. Saat bertemu kakaknya Larissa lupa kalau saat itu
ibunya sedang sakit. Melihat BI Inah
yang terlihat sangat panik, akhirnya Pastor Abner, Stefan, dan Larissa bergegas
menuju kamar ibunya. Melihat kondisi Ibu Ane yang sangat lemas akhirnya Pastor
Abner dan Stefan memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Larissa yang itu usianya masih di bawah 12 tahun, terpaksa
harus tinggal di rumah bersama Bi Inah.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit,Stefan
terus berdoa untuk keselamatan ibunya. Saat itu pastor Abner dengan sangat
focus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Akhirnya tibalah mereka di
rumah sakit. Ketika sampai di sana, ibu Stefan langsung ditangani oleh para
petugas medis. Saat itu pastor Abner melihat wajah Stefan menjadi sangat lesu melihat kondisi ibunya
yang seperti itu. Akhirnya mengajak Stefan untuk mendoakan kesembuhan ibunya.
Setelah kurang lebih setengah jam, akhirnya dokterpun keluar dan memberitakan
kalau ibu Stefan tidak apa-apa hanya butuh istirahat beberapa waktu. Stefan dan
Pastor Abner pun akhirnya diperbolehkan masuk.
Di sana Stefan melihat kondisi ibunya yang masih tak sadarkan diri. Pastor Abner pun mengerti bagaimana perasaan
Stefan saat itu.
Ketika itu Stefan yang merasa kelelahan
akhirnya ia tertidur di samping tangan ibunya. Saat itu ia merasakan tangan
ibunya yang masih tersambung dengan selang infuse akhirnya mulai bergerak.
Stefan pun akhirnya terbangun, dan merasa senang melihat ibunya sudah kembali
sadar. Melihat ibu Stefan, Pastor Abner pun segera memanggil dokter. Setelah
diperiksa kembali, dokter menyatakan bahwa kondisi ibu Stefan sudah sadar. Ketika
ibunya sudah kembali sadar, Stefan pun langsung meminta maaf pada ibunya atas
segala perbuatan yang sudah ia lakukan selama ini. Ibunya pun hanya bisa
menangis, memeluk anaknya dan meminta maaf. Ibunya juga merasa bersalah, karena
selama Stefan tidak berada ia tidak mencarinya, tapi mendukung suaminya
mengusir Stefan. Ibunya merasa bahwa ia sebagai istri tidak bisa meredam emosi
suaminya. Setelah mereka saling meminta maaf, Stefan pun memperkenalkan Pastor
Abner pada ibunya. Stefan menceritakan bahwa ia tidak berada di rumah, ia
banyak mendapat didikan dari Pastor Abner.
Mendengar Stefan berkata demikian, Ibunya merasa berterima kasih pada
Pastor Abner yang telah mendidik Stefan selama beberapa waktu. Dengan rendah
hati Pastor Abner mengatakan, bahwa ia merasa senang bisa ikut mendidik Stefan
agar bisa menjadi pribadi yang lebih dewasa lagi.
Jam makan malam tiba, Stefan pun membantu
menyuapi ibunya untuk makan malam. Ketika itu ayahnya yang baru pulang dari
kantor, tiba-tiba masuk dan saat melihat Stefan ada di situ emosinya mulai tak
terkendali. Melihat suasana yang berubah menjadi ribut, Ibu Stefan pun yang
kondisinya masih lemah pun berusaha untuk meredam kemarahan suaminya. Ayah Stefan
yang saat itu emosinya tidak terkendali, terus-menerus menyalahkan Stefan kalau
dialah yang menyebabkan ibunya jatuh sakit. Keributan tersebut ternyata sudah
mengganggu para pasien yang lain. Stefan pun berusaha meminta maaf dengan
ayahnya, tapi saat itu situasi tidak memungkinkan. Ayah Stefan merasa tidak ingin
melihat Stefan dan memanggil satpam agar mengusir Stefan dari kamar ibunya.
Untuk menenangkan suasana Stefanpun akhirnya dengan sukarela keluar dari kamar
ibunya tanpa harus diusir oleh satpam.
Melihat kondisi psikologis Stefan yang
merasa putus asa dan merasa bersalah, akhirnya Pastor Abner pun mengajak Stefan
untuk makan malam. Ketika itu Stefan berkata pada Pastor Abner, “Untuk apa
Stefan harus minta maaf pada Ayah Stefan, kalau Ayah juga tidak mau memaafkan
kesalahanku!” kata Stefan yang berkata demikian dan dengan penuh emosi. Pastor
Abner pun mengerti bagaimana perasaan Stefan. Setelah makan malam selesai, akhirnya
Stefan pun pulang kembali bersama Pastor Abner.
Ketika suasana dirasa sudah mulai tenang,
ibu Stefan perlahan-lahan mulai memberikan pengertian pada suaminya agar mau
memaafkan Stefan. Mendengar istrinya berkata demikian, emosi suaminya mulai tak
terkendali. Dengan penuh emosi suaminya memberikan dua pilihan, kalau istrinya
mau menerima Stefan, maka suaminya yang akan pergi. Sebaliknya jika istrinya
memilih suaminya, maka Stefanlah yang harus pergi dari rumah. Sebagai istri ia
ingin agar keluarganya dapat berkumpul kembali, tapi di sisi lain ia juga tidak
berani membantah perkataan suaminya.
Maka istrinya memilih untuk diam ketika suaminya memberikan dua pilihan
tersebut. Ia tidak ingin emosi suaminya semakin memanas dan menimbulkan
keributan di rumah sakit.
Selama perjalanan pulang kembali ke tempat
pastor Abner, Stefan yang merasa kelelahan akhirnya tertidur. Melihat Stefan
yang tertidur di mobil, pastor Abner pun menghentikan mobilnya sejenak. Pastor
Abner pun mengelus-elus kepala Stefan, dan dalam hati ia berdoa bagi Stefan,
“Tuhan, kuatkanlah Stefan dalam menghadapi masalah yang ia alami saat ini.
Tegarkanlah dia ya Tuhan, agar dalam menghadapi masalah yang ia alami, jangan
sampai ia merasa sendirian dan putus asa. Tuhan, pakailah aku pelayanMu yang
berdosa ini, agar bisa menghibur dan menguatkan hatinya terutama dalam
menghadapi masa-masa sulitnya saat ini.” Setelah berdoa demikian pastor Abner pun
melanjutkan perjalanan pulang.
Malam harinya ketika semua orang sudah
terlelap tidur, Stefan yang sebelum juga sudah tidur tiba-tiba ia menggigau
dengan keras sambil berteriak, “Stefan, benci ayah, benci, Stefan benci ayah.”
Mendengar Stefan yang berkali-kali menggigau dengan keras, pastor Abner yang
kamarnya bersebelahan dengan kamar Stefan akhirnya terbangun dan segera menuju
ke kamar Stefan. Saat berada di kamar Stefan, pastor Abner segera membangunkan
Stefan agar ia tidak menggigau terlalu larut. “Stefan anakku, bangun nak, ini
papa!” Akhirnya setelah berkali-kali pastor Abner berkata demikian, Stefan pun
akhirnya sadar dan terbangun. Setelah Stefan bangun dan sadar, pastor Abner
memberikannya minum dan menanyakan apa yang menyebabkannya menggigau sampai
seperti itu. Stefan pun akhirnya menceritakan dengan jujur kalau ia` bermimpi
bertemu dengan ayahnya. Mendengar Stefan yang berkata demikian, pastor Abner
pun mengerti apa yang sedang dirasakan Stefan. Pastor Abner pun memeluknya dan
mengajak Stefan untuk berdoa bersama. Setelah itu pastor Abner pun menyuruh
Stefan untuk tidur kembali.
Keesokan harinya setelah mengikuti misa
pagi, Stefan pun tidak segera sarapan bersama pastor Abner ia justru memilih
duduk di taman di seberang kapel. Ia pun duduk di situ dengan wajah yang
murung. Pastor Abner yang merasa sudah lapar, segera mencari untuk mengajak
sarapan bersama. Ketika sampai di dekat pintu, pastor Abner melihat dari balik
jendela sedang duduk sendirian seorang diri sambil melempar batu ke kolam.
Pastor Abner mengetahui Stefan mengapa kelakuannya berubah seperti
itu.Segeralah pastor Abner menghampiri Stefan untuk mengajaknya sarapan
bersama. Saat mulai mendekati Stefan, pastor Abner melihat Stefan yang penuh
emosi melemparkan batu ke kolam sambil berteriak. “Tuhan, kenapa Engkau membuat
hidupku menjadi seperti ini? Kenapa Engkau memberikan aku orang tua yang
seperti itu? Yang tidak mau memaafkan kesalahan anaknya? Kenapa Tuhan? Kenapa?
Tuhan, kalau saja aku boleh memilih, aku nggak akan pernah mau hidup dengan
mereka! Stefan nggak mau Tuhan! Stefan nggak mau! Stefan benci keluargaku!!!
Arrgghhh!!!!!! teriak Stefan yang penuh dengan emosi. Melihat dan mendengar
Stefan sedang mengalami stress berat, pastor Abner dalam hati berkata, “Tuhan,
apa yang harus aku perbuat untuk menolong Stefan?” Setelah itu pastor Abner
berusaha menghentikan apa yang sedang diperbuat oleh Stefan. “ Stefan anakku,
tolong berhentilah nak untuk menyalahkan Tuhan! Berhentilah juga menyalahkan
keluargamu anakku! Karena semua yang diberikan Tuhan itu baik dan tidak ada
yang salah. Dan semua yang diberikan-Nya adalah yang terbaik untukmu, anakku.
Jadi mulai sekarang mengertilah anakku. Anakku, tenanglah walaupun kamu merasa
tidak dihargai oleh keluargamu, tapi papa masih tetap akan mau menganggapmu
sebagai anak. Sekarang tenangkanlah pikiranmu anakku.” kata pastor Abner yang
memeluk Stefan agar ia merasa sedikit tenang. Stefan yang berada dalam pelukan
pastor Abner merasa tidak berkata-kata, ia hanya menangis. Dalam hati Ia merasa
sangat bersyukur ternyata Tuhan masih menyayanginya lewat kehadiran pastor
Abner.
Sore harinya ketika semua pekerjaan rumah
selesai, tiba-tiba Stefan mendatangi pastor Abner yang saat itu sedang membaca
Koran.“Pa, bolehkah Stefan meminta Sakramen Pengakuan Dosa?” Kata Stefan yang
seperti sedang mengalami problematika berat yang sedang ia alami. Akhirnya
tanpa menunggu waktu lama pastor Abner
meengangguk dan segera menggiyakan permintaan Stefan. Akhirnya setelah
mengganti jubah, pastor Abner mengajak Stefan masuk ke ruang kerjanya. Di sana
Stefan mengakui kalau sikap dan perilakunya
selama ini cenderung kurang dewasa dalam mengalami berbagai masalah yang ia
alami dan selama ini ia pandangan negative tentang keluarganya sendiri. Mendengar pengakuan dan kesadaran
yang tulus dari hati Stefan, pastor Abner hanya tersenyum dan mengangguk.
Pastor Abner merasa senang akhirnya Stefan mau mengakui kelemahan dan kekurangannya
serta berjanji untuk berubah menjadi lebih baik lg. Setelah itu Pastor Abner
mengajak Stefan untuk berdoa bersama.
Sejak saat itu Stefan berjanji untuk berubah menjadi pribadi dewasa
serta mau mendoakan dan memaafkan keluarganya.
Malam harinya sesudah makan malam,
pastor Abner terlihat sibuk di ruang kerjanya. Melihat hal itu, Stefan pun
berinisiatif membuatkan teh hangat dan cemilan ke ruang kerja pastor Abner. “Lagi
sibuk pa?” Tanya Stefan yang sedikit penasaran. “Iya ini nak,lagi siapin kotbah
untuk misa besok pagi.” Jelas pastor Abner. “Memang bacaannya besok tentang apa
pa?” Tanya Stefan yang sedikit penasaran. “Perumpamaan tentang anak yang
hilang. Kamu bisa nggak bantu papa?” pancing pastor Abner.”Bantu apa pa?”
“Bantu papa kasih ide untuk siapin kotbah untuk besok. Gimana nak? Kamu mau?”
pancing pastor Abner. “Ya pa Stefan coba ya? Tapi kalau idenya kurang pas papa
jangan kecewa ya?” Kata Stefan yang merasa ragu-ragu ketika diminta membantu
membuat kotbah. Saat itu mereka berdua saling menuangkan ide untuk membuat
kotbah tersebut. Melihat Stefan jari tangan Stefan yang dengan lincah sedang
asyik menari di atas laptop sambil menuangkan ide-idenya, pastor Abner yang
duduk di samping Stefan merasa bangga melihat Stefan. Dalam hati pastor Abner
berkata,”Hanya ini Tuhan yang bisa aku lakukan untuk membantu Stefan.” Akhirnya
beberapa menit kemudian ternyata Stefan sudah merampungkan pekerjaan itu.
Ketika itu pastor Abner tidak sabar membaca hasil karya Stefan. Setelah pastor
Abner selesai membacanya ternyata Stefan juga menyisipkan cerita ilustrasi yang
cukup menyentuh hati bagi orang yang membacanya. Pastor Abner menduga Stefan
mempunyai bakat dalam menulis dan mengarang. “Terima kasih ya nak, kamu sudah
mau membantu papa. Papa bangga membaca hasil tulisanmu ini. Anakku, papa lihat
kamu punya bakat menulis. Anakku, kembangkanlah bakat dan kemampuanmu itu nak.
Oh ya nak, kamu juga boleh kok pinjam laptop di ruang kerja papa, kalau misal
kamu sedang ada waktu luang tiba-tiba ingin menulis cerita atau puisi. Yang
jelas papa sangat mendukung bakatmu dalam menulis itu anakku.” Kata pastor
Abner yang berusaha menguatkan kembali semangat dan motivasi Stefan untuk mau
mengembangkan bakatnya. “Terima kasih banyak pa. sebenarnya sudah sejak dahulu
Stefan suka menulis cerita pendek. Bahkan ketika SMP Stefan pernah ikut lomba
menulis cerita pendek mewakili sekolah, tapi Stefan kalah sih pa hehe.” Kata
Stefan jujur. “ya nggak apa-apa anakku, kalah atau menang itu bukan hal yang
diutamakan, yang penting bagaimana cara kita
berusaha mengembangkan bakat yang sudah Tuhan berikan. Kamu mengertikan
anakku?” Jelas pastor Abner sambil memeluk anak kesayangannya itu.” “Stefan
mengerti pa..” Jawab Stefan yang terlihat bahagia berada dipelukan pastor
Abner.
Beberapa hari setelah itu
Stefan pun setiap sore mulai menggunakan waktu luangnya untuk menuangkan ide
dalam sebuah cerita pendek. Terkadang pada malam harinya saat pastor Abner
mempersiapkan kotbah untuk esok pagi, selalu membaca hasil karya tulisan
Stefan. Hari demi hari Stefan pun mampu membuat sebuah cerita pendek dalam satu
hari. Stefan pun dalam menulis cerita
banyak mengambil dari pengalaman hidupnya. Memang bagi Stefan menulis sebuah
cerita pendek yang diambil dari pengalaman hidupnya bukanlah perkara yang
mudah. Walaupun begitu ia merasa senang karena bisa berbagi pengalaman dengan
orang lain.
Suatu kali ketika pastor Abner
sedang sibuk dengan laptopnya dan membaca kumpulan cerita yang ditulis oleh
Stefan, pastor Abner merasa kalau cerpen Stefan cukup pantas untuk diterbitkan
ke majalah atau Koran. Lalu pastor Abner memanggil Stefan ke ruang kerjanya.
Stefan pun masuk lalu duduk di samping pastor Abner. “Anakku, papa sudah
membaca semua cerpen-cerpenmu. Anakku,papa hanya ingin memberimu saran,
bagaimana kalau cerpen-cerpenmu ini kamu coba kirimkan ke majalah? Siapa tahu
bisa dipublikasikan dan nantinya kamu sendiri yang akan merasa banggakan anakku?
Lagipula cerpen-cerpenmu ini sangat inspiratif.” Kata pastor Abner yang
memberikan motivasi untuk Stefan. “Tapi pa, cerpen yang Stefan tulis masih
sangat sederhana, jadi mana mungkin ada majalah yang mau mempublikasikannya?”
jawab Stefan yang sengaja merendah dan merasa ragu-ragu. “Anakku, sekarang yang
terpenting adalah kamu harus mencobanya terlebih dahulu. Lagian tidak ada yang
salahkan kalau mencoba? Entah nantinya cerpenmu dipublikasikan atau tidak itu
urasan terakhir.” Jelas pastor Abner yang memberikan motivasi untuk meyakinkan
Stefan. Akhirnya berkat suntikan motivasi yang diberikan oleh pastor Abner,
Stefan pun mencoba saran yang diberikan pastor Abner. Ia pun mengirimkan hasil
karyanya ke beberapa majalah dan surat kabar.
Satu
minggu kemudian seorang tukang pos datang mengantarkan sesuatu ke pastoran.
Ternyata ada sebuah surat ditujukan kepada Stefan. Setelah dibuka ternyata di
dalam berisi uang dan sebuah surat. Stefan
pun akhirnya merasa senang karena cerpennya berhasil dimuat di majalah tersebut.
Bahkan dari pihak redaksi menuliskan dalam surat itu akan menampilkan karya
Stefan yang lain untuk beberapa edisi ke depan. Stefan pun yang mendapatkan
surat itu merasa sangat senang dan ia
pun tidak sabar menceritakan ini pada pastor Abner.
Sore harinya ketika hari
mulai gelap tibalah pastor Abner ke rumah. Yang setelah setelah seharian
mengunjungi suatu stasi. Saat badan terasa lelah dan perut mulai lapar,
ternyata di ruang makan sudah tersedia
beberapa makanan yang sengaja dimasak oleh Stefan untuk pastor Abner. Pastor
Abner pun merasa heran mengapa ada makanan sebanyak ini. Pastor Abner kemudian
memanggil Stefan untuk menanyakan dari mana makanan sebanyak ini. “Stefan
anakku, kamu tahu darimanakah asal makanan sebanyak ini? Siapa yang
memberikannya?” Tanya pastor Abner yang merasa sangat penasaran. Ketika ditanya
demikian Stefan hanya tersenyum sambil menggoda pastor Abner. “hmmm dari siapa
ya pa? Stefan nggak tahu tuh pa? haha” kata Stefan yang sambil berlari menggoda
pastor Abner. “hmm oh gitu ya sekarang
kamu?” Kata pastor Abner yang juga menggoda Stefan dan berusaha mengejarnya.
Akhirnya setelah beberapa saat Stefan berlari sambil menggoda pastor Abner, akhirnya
pastor Abner berhasil menangkap Stefan sambil menggelitikinya. “Hayo ngaku
nggak itu dari mana asal makanan sebanyak
itu?” kata pastor Abner sambil menggelitiki Stefan agar ia mau mengaku.
Akhirnya setelah beberapa saat kemudian, Stefan pun menyerah. “haha pa.. ampun
pa. ampun.. Stefan nyerah deh.. papa yang menang” kata Stefan yang merasa lelah
karena digelitiki pastor Abner. “haha
akhirnya kamu nyerah juga. Lagipula papa juga capek kok.. haha” “Akhirnya mereka berdua pun kelelahan,
pastor Abner mengajak Stefan duduk di sampingnya, dan menanyakan kembali dari
mana asal makanan itu. Stefan pun akhirnya menceritakan dari asal semua makanan
itu. “Jadi begini pa, cerpen yang kemarin Stefan kirim ke majalah, Puji Tuhan
bisa dipublikasikan. Terus tadi siang ada tukang pos ngasih surat, ternyata
isinya uang dan majalah sebagai bukti cerpen hasil karya Stefan dimuat.
Bahkan pihak redaksinya mengatakan untuk
majalah edisi berikutnya akan mempublikasikan kembali cerpen Stefan yang lain.
Terus uang hasil dari majalah tadi Stefan pakai untuk belanja bahan-bahan.
Stefan ingin memasak makanan yang
special buat papa. Stefan tahu mungkin
kalau bukan karena papa yang selalu memberikan motivasi, Stefan nggak
akan bisa seperti ini. Terima kasih ya paa..” Jelas Stefan sambil menunjukkan
hasil karyanya yang dimuat di majalah lalu memeluk pastor Abner. Mendengar
kejujuran Stefan, pastor Abner merasa bangga dan terharu. “Anakku, papa merasa
bangga karena cerpenmu berhasil dipublikasikan, tapi anakku uang hasil kerja
kerasmu ini lebih baik kamu tabung saja. Sebelumnya terima kasih karena kamu
sudah mau memasakkan papa makanan yang banyak dan special ini, tapi lain kali
tidak usah repot-repot begini. Bagi papa cerpen hasil karyamu berhasil
diterbitkan, papa sudah cukup merasa
senang.” Jelas pastor Abner sambil memeluk Stefan. “Anakku, teruslah berkarya
dan kembangkanlah bakatmu ini. Walaupun cerpenmu berhasil diterbitkan jangan
pernah kamu merasa sombong, tetaplah menjadil orang yang rendah hati! Pesan
pastor Abnerr kepada anak angkat kesayangannya itu.
Malam harinya setelah makan
malam, ayah Stefan sedanng asyik membaca dan sibuk membolak-balik halaman demi
halaman. Hingga pada halaman bagian cerpen. Saat itu ayahnya merasa terkejut
saat melihat ada foto Stefan dalam majalah itu. Lalu dengan segera menutup
majalah itu dan menaruhnya dengan tergesa-gesa. Saat itu istrinya yang ada di
sebelahnya sedang menonton tv, merasa heran ketika melihat ekspresi suaminya
yang terlihat sangat ketakutan dan
segera bergegas menuju ke kamar. Istrinya pun yang merasa penasaran dengan kelakuan
suami yang mendadak menjadi ketakutan. Lalu segera istrinya mengambil majalah
itu, dan berusaha mencari apa yang membuat suaminya menjadi ketakutan seperti
itu. Istrinya pun membuka halaman demi halaman ,namun ia tidak menemukan hal
yang menakutkan dalam majalah itu.
Ketika tengah malam, ayah
Stefan tidak bisa tidur pikirannya masih dihantui oleh foto Stefan di majalah
tadi. Akhirnya untuk mengurangi perasaan takutnya, akhirnya memutuskan untuk
pergi keluar rumah. Istrinya yang sedang terlelap tidur tidak tahu kalau
suaminya tidak berada di situ.
Pukul
setengah dua malam tiba-tiba telepon rumah berdering. Saat itu istrinya
terbangun dan merasa terkejut saat melihat suaminya tidak berada di sampingnya.
Dengan segera ia menjawab telepon itu. Betapa terkejutnya saat mendengar kabar
dari polisi yang mengabarkan bahwa mobil yang dikendarai suaminya tiba-tiba menabrak pembatas jalan. Mendengar
kabar dari polisi istrinya pun segera menuju ke rumah sakit.
Sepuluh menit kemudian
istrinya pun tiba di rumah sakit. Saat itu istrinya segera menanyakan pada
dokter bagaimana kondisi suaminya.Dokter mengatakan bahwa suaminya mengalami
patah tulang yang diakibatkan tabrakan yang sangat kuat dan akhirnya
mengakibatkan kaki kirinya patah.
Istrinya yang merasa kekelahan akhirnya tertidur di samping tangan
suaminya.
Ketika matahari mulai terbit,
tiba-tiba ia mendengar suaminya menggigau sambil menyebut-nyebut nama Stefan.
Mendengar suaminya yang seperti itu istrinya segera memanggil dokter. Setelah
dokter memanggil memeriksa kondisi suaminya, dokter pun menanyakan siapakah
Stefan itu. Dokter pun menyarankan
supaya istrinya segera membawa Stefan
pada suaminya. Karena kalau tidak suaminya pasti akan terus-menerus memanggil
nama Stefan. Mendengar saran yang diberikan dokter, istrinya pun bingung harus
berbuat apa. Ia sendiri tidak tahu dimana Stefan saat ini.
Sepanjang perjelanan pulang guna mengambil barang-barang yang diperlukan
suaminya. Istrinya terus menerus memkirkan bagaimana cara menemukan Stefan
kembali. Ketika sampai di rumah ibunya disambut Larissa. Larissa yang
mengetahui kalau ayahnya kecelakaan terus menerus merengek ingin menjenguk
ayahnya di rumah sakit. akhirnya setelah semuanya siap, ibu dan Larissa segera
menuju ke rumah sakit.
Saat Larissa dan ibunya tiba
di rumah sakit, mereka melihat kondisi belum membaik. Saat melihat ayahnya,
Larissa melihat ayahnya yang masih tidak sadarkan diri sambil menyebut-nyebut
nama kakaknya. Melihat ayahnya yang terus-menerus menyebut nama Stefan, Larissa
pun teringat kalau ia masih menyimpan kartu nama yang diberikan pastor Abner.
Larissa pun kemudian mengatakan pada ibunya kalau ia masih menyimpan kartu nama
yang diberikan oleh pastor Abner beberapa waktu lalu. Mendengar Larissa berkata
demikian akhirnya merasa sedikit lega, dan berharap ia dapat segera bertemu
dengan Stefan. Ibunya pun mencoba menghubungi di nomor yang ada di kartu nama
pastor Abner, tapi tidak ada jawaban sekalipun. Akhirnya tanpa berpikir
panjang, ibunya bergegas menuju alamat yang tertera di kartu nama tersebut.
Setelah menempuh perjalanan
kurang lebih satu jam, akhirnya tibalah ibu Stefan di sebuah kapel kecil
seperti yang tertera alamat pada kartu nama. Ibu Stefan mencoba membunyikan bel pintu pastoran,
tapi tidak ada jawaban. Saat itu ternyata Stefan dan pastor Abner sedang sibuk
di taman belakang. Mendengar bel pintu rumah berbunyi pastor Abner menyuruh
Stefan melanjutkan pekerjaannya sedangkan pastor Abner bergegas segera membukan
pintu. Saat membukakan pintu pastoran, pastor Abner merasa tidak asing dengan
tamu tersebut. Pastor Abner berusaha mengingat-ingat wajah tamu tersebut, dan
merasa pernah bertemu ,tapi entah dimana.
Setelah dipersilahkan masuk
dan memperkenal diri, barulah pastor Abner sadar kalau ternyata tamu tersebut
ibu dari Stefan. Di sana ibu Stefan menceritakan semua yang terjadi dengan
keluarganya terutama kondisi ayahnya, berharap ibunya bisa bertemu Stefan dan
mengajaknya pulang untuk bisa bertemu dengan ayahnya. Setelah mendengar cerita
dari ibu Stefan. Pastor Abner pun segera menuju ke belakang untuk mengajak
Stefan bertemu dengan ibunya. Melihat ibunya yang datang ke tempat itu, Stefan
pun merasa sangat senang. Pastor Abner
pun menjelaskan maksud kedatangan ibu Stefan ke tempat itu. Saat mendengar ayahnya
sedang sakit di rumah sakit dan terus-menerus menyebut namanya, Stefan pun
merasa enggan untuk bertemu dengan ayahnya. Ia akhirnya meninggalkan pastor dan
ibunya, lalu kembali ke taman belakang. Melihat perilaku Stefan yang seperti
itu, ibu Stefan menangis sambil memohon pada pastor Abner agar mau membujuk
Stefan untuk pulang dan bertemu dengan ayahnya.
“Tuhan, biar saja ayah mati di rumah sakit!
Lagipula mana ada orang tua yang tega mengusir anaknya,padahal sebelumnya
hilang? Mana ada Tuhan? Mana ada? Jujur saja Tuhan, Stefan masih belum bisa
maafin ayah! Hati Stefan masih sakit waktu ayah mengusir Stefan dari rumah!”
kata Stefan yang emosinya kembali meluap-luap. Stefan tidak menyadari kalau
pastor Abner mendengar apa yang ia katakan.
“Tuhan apa yang bisa aku lakukan untuk meluluhkan hati Stefan agar ia
mau bertemu dengan ayahnya? Tuhan, pakailah hambaMu yang berdosa dan lemah ini
untuk bisa menolong Stefan dan keluarganya agar mereka dapat kembali utuh
seperti sediakala.” kata pastor Abner dalam hati ketika melihat-mendengar
Stefan berkata demikian. Akhirnya pastor Abner berusaha mengajak Stefan untuk
bicara empat mata dan dari hati ke hati. Cukup lama memang mereka berbicara
empat mata, namun berkat kesabaran serta pengertian dari pastor Abner,Stefan
pun akhirnya bersedia untuk pulang dan bertemu dengan ayahnya.
Ketika hari sudah malam
mereka bertiga pun akhirnya tiba di rumah sakit. Saat itu mereka mendapati
kondisi ayah yang masih belum sadarkan diri. Stefan pun memberanikan diri untuk
duduk di samping tempat tidur ayahnya sambil menggenggam dan mencium tangan
ayahnya yang masih terpasang selang infus. Melihat Stefan melakukan itu, pastor
Abner meminta Stefan agar ia mau dengan
tulus memaafkan semua ayahnya. Setelah itu Pastor Abner m yang memimpin doa
memohon kesembuhan untuk ayah Stefan.
Beberapa saat kemudian
saat Stefan, ibunya, dan pastor Abner sedang menyantap makan malam,sekaligus
menunggui ayah mereka. Tiba-tiba Stefan melihat tangan ayahnya yang sudah mulai
bergerak. Melihat tangan ayahnya yang sudah mulai bergerak-gerak, Stefan pun
segera memanggil dokter. Dokter pun segera memeriksa kondisi ayah Stefan.
Sekali lagi pastor Abner mengajak berdoa agar kondisi ayah Stefan semakin membaik.
Beberapa menit dokter telah selesai memeriksa, dan memberi kabar kalau ayah
Stefan sudah sadar. Setelah mendengar dokter berkata demikian, Stefan pun
segera menggenggam dan mencium tangan
ayahnya serta meminta maaf. Saat mengetahui anak laki-laki satu-satunya
menggenggam dan mencium tangannya, ayahnya pun akhirnya menangis terharu
melihat apa yang telah dilakukan oleh Stefan kepadanya. Ayahnya pun akhirnya
dengan tulus memaafkan Stefan, sekaligus meminta maaf atas apa yang sudah ia
perbuat pada Stefan. Ayahnya memeluk erat anak laki-laki kesayangannya.
Melihat Stefan dan ayahnya
kembali akrab seperti sediakala, pastor Abner dalam hati merasa bersyukur dan
berterima kasih pada Tuhan karena telah mempersatukan kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar