Rabu, 02 September 2015

Stefanus


                                                          
                                                           Maria F. Christina

         Di sebuah keluarga memiliki 2 orang anak. Mereka bernama adalah Larrisa dan Stefan. Mereka berdua memiliki karakter yang sangat berbeda. Stefan yang menjadi anak pertama di keluarga itu memiliki karakter yang selalu aktif, patuh pada kedua orang tua dan selalu mendapat prestasi di sekolahnya. Sedangkan Larissa memiliki karakter yang pendiam, tertutup dan ia tidak pernah mendapatkan prestasi di sekolah. Walaupun kedua anak mereka memiliki karakter yang berbeda,perlakuan dari mereka pun juga berbeda. Kedua orang tua mereka justru lebih menyayangi Larissa dan mereka cenderung menganggap Stefan sudah bisa dewasa dan mandiri. Mereka ingin agar Larissa menjadi anak  yang mau terbuka pada kedua orang tua. Tapi tanpa mereka sadari hal ini justru menjadikan kecemburuan di hati Stefan. Tiap malam sebelum adiknya pergi tidur orang tuanya selalu datang ke kamar untuk menanyakan apa saja yang telah Larissa alami dan lakukan dalam sehari. Walaupun begitu Larissa tetap menjadi anak yang tertutup dan tidak mau bercerita pada kedua orang tuanya, tapi kedua orang tuanya tidak menyerah dan terus melakukan kebiasaan itu sebelum Larissa pergi tidur. Tapi sebaliknya jika Stefan sedang memilki masalah dan ingin bercerita pada kedua orang tuanya. Mereka selalu menganggap Stefan sudah dewasa dan mampu mengatasi masalahnya sendiri. Hal ini tentu membuat Stefan merasa sedih dan merasa kurang mendapat perhatian. Sejak saat itu Stefan yang semula menjadi anak yang aktif, kini berubah menjadi anak pemurung dan suka mengurung diri di kamar.   

      Suatu ketika saat jam pelajaran Matematika Pak Adi mendadak mengadakan ulangan. Akhirnya suasana di kelas pun menjadi sangat ribut. Para murid merasa belum siap mengerjakan ulangan. Tapi berbeda dengan Stefan yang merasa tenang ketika  akan mengerjakan ulangan. Saat mengerjakan ulangan tersebut Pak Adi menunggu sedang ada keperluan sehingga harus meninggalkan kelas. Stefan yang biasa mengerjakan dengan tenang, konsentrasinya mendadak menjadi buyar karena banyak dari teman sekelasnya yang meminta contekan jawaban. Stefan pun berusaha focus pada pekerjaannya, tapi kemudian dia dilempari sebuah kertas kecil oleh teman yang ada di belakang. Stefan pun tidak tahu apa isi kertas tersebut. Lalu ia membuka kertas tersebut. Saat Stefan membuka kertas tersebut, tiba-tiba pak Adi masuk ke dalam kelas, dan melihat Stefan sedang membuka kertas itu. Stefan pun terkejut saat melihat Pak Adi berdiri di hadapannya. “Stefan, saya tidak percaya kalau kamu sudah berani mencontek?” Kata Pak Adi dengan nada tinggi. Stefan pun menjadi panic dan hanya diam tidak berani menjawab. Seluruh siswa di kelas itu menjadi terdiam. “Baiklah Stefan, nanti setelah kamu selasai mengerjakan ulanganmu kamu ikut saya ke kantor! Anak-anak yang lain silahkan kalian` mengerjakan dengan tenang!” Kata Pak Adi dengan nada tinggi.
       Jam bel istirahat pun berbunyi tandanya jam pelajaran matematika pun berakhir. Para murid yang lain meninggalkan kelas, sedangkan Stefan masih harus berurusan dengan Pak Adi.  “Jadi benarkah Stefan apa yang saya lihat tadi?” tanya Pak Adi. “Sebelumnya saya minta maaf, tapi sebenarnya saya sendiri tidak tahu menahu mengenai kertas itu. Saya sendiri berani jujur kalau saya tidak mencontek, seperti yang bapak kira tadi.” Jelas Stefan dengan tegas. Saat itu Pak Adi pun terdiam dan mulai berpikir tentang apa yang dikatakan oleh Stefan. “Oke Stefan,kali ini bapak masih percaya pada apa yang kamu. Tapi lain kali jika kejadian ini terjadi lagi padamu, jangan berharap saya tidak akan percaya lagi pada apa yang kamu katakan dan saya akan memanggil orang tuamu!” kata Pak Adi  yang menatap tajam mata Stefan. “Silahkan sekarang kamu boleh keluar” kata Pak Adi. Stefan pun keluar dari ruang guru dengan wajah yang lesu. Dani , teman sekelas Stefan tiba-tiba datang menghampirinya, “Eh Stefan kamu ini pintar juara kelas, tapi masak tadi mau buka kertas contekan aja bisa ketahuan. Ternyata nggak semua anak pintar itu cerdik, Dasar!” sindir Dani yang setelah berkata demikian lalu pergi meninggalkan Stefan. Stefan pun tidak terlalu menghiraukan apa yang dikatakan Dani, lalu ia pun kembali ke kelas.
Siang itu setelah pulang sekolah ia pun langsung pulang ke rumah. Saat tiba di rumah Stefan pun langsung masuk dan mengurung diri di dalam kamar. Di dalam kamar ia hanya merenungkan apa yang telah terjadi padanya. Ia merasa kalau masalah yang ia hadapi jauh lebih berat daripada masalah yang dihadapi oleh orang lain. Stefan pun mencoba untuk membagi pengalaman yang saat itu ia alami dengan kedua orang tuanya, tapi apa jawaban dari kedua orang tua Stefan? Lagi-lagi mereka selalu menganggap  Stefan sudah dewasa dan mampu mengatasi masalahnya sendiri. Dan ia juga berpikir kalau sudah tidak ada lagi orang yang mau peduli dan sayang padanya. Ibarat kata orang sudah jatuh, tapi masih harus tertimpa tangga, ya mungkin itulah yang ada di dalam pikiran Stefan saat itu. Stefan pun akhirnya merasa depresi dan ia pun memutuskan untuk mengurung diri di kamar. Setelah satu jam mengurung diri di dalam kamar akhirnya Stefan merasa jenuh dan memutuskan untuk berjalan-jalan keluar rumah. Saat itu ia berjalan-jalan  dan duduk di sebuah taman. Di taman itu ia sedang melihat burung-burung yang ada di sekitar air mancur. Saat itu Stefan yang sejak awal melamun, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seorang pemuda seumurannya yang duduk di sampingnya. “Halo nama kamu siapa? Kok kamu di sini sendirian?” tanya pemuda itu yang ternyata hanya berpura-pura baik pada Stefan. “Aku Stefan, aku di sini karena aku merasa jenuh dan bête berada di rumah. Kamu sendiri siapa? Dan kenapa kamu ada di sini?” Jelas Stefan dengan polos. Mendengar perkataan Stefan pemuda  semakin berpura-pura baik padanya. “Aku turut prihatin bro pada apa yang kamu alami. O iya namaku Harry. Aku biasa di sini sama teman-teman komunitasku.” Jelas Harry yang berpura-pura baik pada Stefan. “Memang kamu ikut komunitas apa bro?” tanya Stefan yang merasa penasaran. “Aku ikut sebuah komunitas dimana kami merasa bebas dan tidak ada seorangpun yang melarang atau mengatur kami dan kami di sini merasa hidup kami bebas dan bahagia. Gimana kamu mau gabung nggak?”ajak Harry yang sambil berpura-pura baik. “Nggak usah bro makasih. Permisi aku mau pulang dulu.” Jawab Stefan yang merasa ketakutan dan ingin buru-buru meninggalkan Harry.  “Bro Stefan, Kamu kan belum mencoba, masak sudah takut duluan? Tenang aja bro Stefan, kamu itu nggak akan diapa-apain kok. Pokoknya yang penting di sini kita akan bahagia dan jauh dari rasa bête.” Pancing Harry agar Stefan mau bergabung. Stefan pun yang merasa masih sedikit takut akhirnya mau bergabung. “Oke deh bro, aku mau gabung.” Kata Stefan dengan nada yang masih sedikit takut.
Akhirnya Stefan pun diajak oleh Harry pergi ke suatu di rumah yang sudah ditinggali oleh pemiliknya. Saat masuk ke rumah Stefan pun disambut oleh Andika dan ketiga Harry temannya yang lain. Stefan sendiri merasa sangat terkejut saat melihat ketika bertemu dengan keempat teman Harry. Penampilan mereka sangat tidak karuan, seperti anak-anak yang  tidak terurus oleh orang tuanya. Di tempat itu pula Stefan melihat ada banyak botol-botol minuman, kartu dan kulit kacang yang berserakan dimana-mana. Keadaan seperti ini membuat Stefan berpikir kalau ini bukan komunitas yang baik.  Freda yang merupakan  salah satu teman Harry tiba-tiba menawarkan minuman yang sudah dicampur dengan obat tidur, “Eh Stefan, kamu sekarangkan sudah jadi anggota baru di kelompok ini, jadi ayolah sekarang kamu coba minuman ini. Untuk menyambutmu di kelompok kita!” Bujuk Freda yang berusaha meyakinkan Stefan sambil memberi kode pada teman-tamannya yang lain. “Nggak usah makasih aku sudah kenyang.”jawab Stefan yang berbohong karena sedikt takut menerima tawaran Freda. “Ayolah Stefan, kamu nggak akan mati kok kalau kamu minum ini.” Jelas Freda yang sambil meminum minuman yang ada di gelasnya diikuti teman-teman yang lain yang juga minum minuman itu. “Sekarang kamu lihat sendirikan Stefan minuman ini nggak membuat kami keracunan atau mati.” Kata Freda yang berbohong agar bisa meyakinkan Stefan. “Sekarang giliran kamu yang minum. Ayolah!” Bujuk Freda sekali lagi. Akhirnya Stefan pun terbuai pada bujukan Freda, dan ia pun meminum minuman itu. Entah mengapa setelah Stefan meminumnya, ia merasa kepalanya merasa sangat pusing dan tubuhnya merasa sangat lemas. “Rasain lo, makanya jadi anak laki-laki jangan mudah dibodohi! Akhirnya sekarang lho tahu sendiri kan siapa kami? haha” Kata salah satu anggota kelompok itu yang setelah berkata demikian lalu meludah di muka Stefan. Setelah berkata demikian mereka keluar dari ruangan itu dan memastikan Stefan dalam kondisi yang benar-benar lemas. Beberapa menit kemudian mereka masuk lagi dalam ruangan itu dan mendapati Stefan dalam keadaan pingsan. Menjelang malam hari mereka keluar dari rumah itu dan berencana untuk membuang Stefan di suatu tempat  gelap. Mereka pun akhirnya sampai di sebuah hutan yang sangat gelap. Sebelum mereka membuang Stefan di tempat itu, mereka tak lupa mengambil semua barang-barang yang dibawa Stefan. Mereka pun membuang dan meninggalkan Stefan dalam keadaan pingsan seorang diri.
Stefan yang merasa tubuhnya sangat lemas berusaha mencari pertolongan walaupun dengan suara lirih. Saat itu ada seorang pastor muda yang hendak pulang melewati hutan itu setelah memimpin misa di stasi. Sang Pastor muda itu mendengar ada suara seorang minta tolong. Lalu pastor muda menyuruh sopir pribadinya untuk menghentikan mobil dan mencari sumber suara itu berasal. Akhirnya setelah 1 jam mencari sumber suara itu, mereka menemukan seorang anak muda tergeletak dan tak sadarkan diri. Pastor muda itu akhirnya memutuskan untuk membawa Stefan di gerejanya agar bisa merawatnya sementara waktu sampai kondisinya pulih kembali.
        Esok harinya ketika matahari telah terbit, Stefan pun terbangun dan kepalanya masih terasa sangat pusing. Saat itu ia melihat matahari pancaran sinar matahari dari balik kaca jendela yang sudah terbuka. Stefan pun keluar dari kamar dan melihat seorang. Stefan pun yang belum mengenal orang tersebut ,akhirnya  ia memberanikan diri untuk bertanya tentang siapa orang yang telah menolongnya semalam. “Maaf bapak siapa? Dan mengapa saya bisa berada di tempat ini? Terima kasih karena sudah menolong saya semalam.” Tanya Stefan. Akhirnya pastor muda itu mengetahui kalau Stefan sudah bangun dan mengajak Stefan untuk sarapan bersama. “Selamat pagi anak muda. Perkenalkan nama saya Fransiskus Abner. Saya seorang pastor di gereja ini. Saya semalam saat melewati hutan, ada suara seseorang yang minta tolong. Lalu saya dan sopir saya mencari-cari sumber suara itu selama 1 jam lalu mendapati kamu dalam keadaan pingsan. Dan saya pun memutuskan untuk membawa kamu ke sini untuk bisa merawatmu sementara waktu. “kata pastor Abner yang menjelaskan pada Stefan dengan ramah. “Tapi kalau saya boleh tahu siapa namamu? Dan mengapa kamu bisa berada di hutan yang gelap itu dengan kondisi tidak sadarkan diri?” Tanya pastor Abner yang merasa sangat penasaran. Stefan pun  menjadi terdiam. “nama saya Stefanus Ryan, Pastor, ini semua terjadi karena kesalahanku yang telah melakukan hal yang paling bodoh yang pernah saya perbuat.“ jelas Stefan yang tiba-tiba ingin menangis. Pastor Abner pun kurang mengerti dengan apa yang dikatakan Stefan.” Memang apa yang sudah kau lakukan anakku? Sekiranya engkau ingin bercerita, ceritalah saja anakku. Saya dengan senang hati akan mendengarnya.” Tanya pastor Abner dengan penuh perhatian. “Pastor, ini semua terjadi karena kesalahan saya. Saya sudah lama merasa iri hanya karena orang tua saya kurang terlalu memperhatikan adik saya yang cenderung memiliki karakter pendiam dan tertutup. Sedangkan adik saya sendiri sangat tidak mau terbuka dengan kedua orang tua saya, tapi mereka selalu saja mendesak adik saya untuk bisa terbuka. Tapi sebaliknya di saat saya membutuhkan orang tua untuk bisa berbagi cerita tentang apa yang saya alami, mereka cenderung menganggap saya dewasa dan mampu menyelesaikan semua sendiri. Dari situ terkadang saya merasa kurang diperhatikan dengan kedua orang tua saya. Akhirnya kemarin sore saya memutuskan untuk keluar rumah untuk menghilangkan kejenuhan dengan masalah saya. Saat itu saya bertemu dengan sekelompok anak muda yang membujuk saya untuk bergabung dengan mereka. Saya semula agak ragu dan takut bergabung dengan mereka, tapi apa daya mereka terus berusaha mendesak saya untuk bergabung, dan akhirnya  saya pun terpengaruh untuk bergabung dengan mereka. Mereka pun akhinya mengajak saya ke sebuah rumah kosong. Di sana saya dipaksa untuk meminum minuman keras. Setelah meminum minuman tersebut kepala langsung saya terasa sangat pusing dan saya tak sadarkan diri. Lalu saya tidak tahu lagi apa yang sudah terjadi pada diri saya. Yang saya tahu tiba-tiba saya sudah berada di tempat ini. Dan saya juga baru sadar kalau mereka juga sudah mengambil barang milik saya yang saat itu saya bawa(handphone dan dompet). Kira-kira begitu.” Jelas Stefan yang menceritakan tentang apa yang sudah dialaminya. “saya merasa menyesal pastor, karena sudah melakukan hal yang begitu sangat bodoh dan mengakibatkan saya menjadi seperti ini.” Kata Stefan yang menyesali tindakan bodoh yang telah dibuatnya.Saat itu pastor Abner yang mendengar perkataan sangat mengerti apa yang telah diutarakan Stefan. Pastor Abner sendiri melihat  ada suatu ekspresi penyesalan yang tampak dari wajah Stefan. “Stefan anakku, saya bisa mengerti apa yang sedang kamu rasakan. Terkadang banyak orang tua itu berpikir bahwa ketika anak mereka yang sudah dewasa mereka sudah mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri. Tapi ternyata pengertian mereka salah, walaupun anak mereka sudah berkembang kepribadiannya menjadi dewasa, tapi mereka juga masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari orang tua mereka. Itulah yang seharusnya menjadi tanggung jawab utama mereka sebagai orang tua. Dan sebagai orang tua mereka  seharusnya mengerti karakter dari  masing-masing anak mereka, agar mereka bisa memberikan kasih sayang pada anak mereka dengan cara tepat. Dan untuk kamu anakku, apakah kamu sadar kalau kamu sendiri juga sudah melakukan kesalahan? Tanya Pastor Abner sambil menafap mata Stefan. “ya pastor, saya mudah terpengaruh pada bujukan orang yang baru saya kenal.” Jelas Stefan.  “iya benar anakku salah satunya memang itu, tapi sebenernya ada kesalahan lain yang sudah kamu perbuat. Di saat kamu mengalami kejenuhan karena kurang mendapat perhatian dari orang tuamu, kamu keluar rumah tanpa tahu arah dan tujuan yang jelas , sedangkan kondisi pikiranmu berkecamuk dengan banyaknya masalah yang kamu hadapi. Akibatnya kamu menjadi sangat mudah dipengaruhi oleh orang yang tidak kamu kenal. Anakku, jika kamu punya banyak masalah janganlah memendam masalahmu seorang diri. Jikalau kamu sulit untuk menemukan teman yang bisa kamu ajak untuk berbagi cerita. Sebaiknya berdoalah pada Tuhan supaya Ia memberikanmu kekuatan dan kesabaran agar kamu dapat melewati masa-masa sulitmu bersama-Nya. Dan bersyukurlah anakku, walaupun semua barang kamu bawa saat itu sudah mereka ambil dan mereka juga hampir membunuhmu , tapi ternyata Tuhan masih menyayangngimu.” Jelas Pastor Abner. Mendengar perhatian dan nasehat dari pastor Abner Stefan pun merasa lega bisa mengutarakan isi hatinya dengan orang yang tepat. “pastor, jika suatu saat Stefan butuh teman curhat apakah pastor mau jadi teman curhat saya?” Tanya Stefan. “Stefan anakku, selagi saya masih bisa membantumu, saya bersedia menjadi teman curhatmu.” Jawab pastor Abner sambil tersenyum yang kemudian memeluk Stefan. Setelah perbincangan mereka selesai pastor Abner pun mengajak Stefan sarapan bersama.
 Setelah Stefan selesai makan dan mandi, ia pun diantar oleh pastor Abner untuk pulang ke rumah orang tuanya. Sepanjang perjalanan pastor Abner sesekali memperhatikan wajah Stefan, ia melihat ada perasaan takut dan cemas saat akan bertemu kedua orang tuanya. “Anakku, saya lihat dari tadi kamu begitu sangat murung  dan cemas? Bukankah kamu seharusnya merasa senang  karena bisa bertemu dengan kedua orang tuamu lagi?” Tanya pastor Abner yang sedikit memancing Stefan agar mau mengungkapkan apa yang ada dalam perasaannya. “Stefan takut bertemu papa dan mama kalau-kalau mereka marah karena mereka tahu kalau Stefan sudah melakukan hal yang paling bodoh yang pernah Stefan perbuat.” Jawab Stefan dengan jujur. Mendengar ungkapan perasaan Stefan, pastor Abner pun mengerti apa yang dialami Stefan saat ini. Akhirnya pastor Abner menghentikan sejenak laju mobilnya. “Stefan anakku, tenangkan pikiranmu dan berhentilah berpikiran buruk dengan apa yang akan kamu alami di waktu yang akan datang. Sebaiknya tetaplah berdoalah saja, karena dengan berdoa kamu akan terhindar dari pikiran-pikiran yang negative. Tenanglah anakku, semuanya akan baik-baik saja.” Kata pastor Abner yang berusaha menenangkan pikiran Stefan.
        Akhirnya setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 1 jam, mereka pun akhirnya tiba di rumah. Saat tiba di depan rumah Stefan. Pastor Abner melihat Stefan terlihat lebih tenang dari sebelumnya. “Anakku, semuanya akan baik-baik saja. Nanti biar saya yang bicara dengan kedua orang tuamu.” Kata Pastor yang tersenyum sambil mengelus-elus kepala Stefan.
         Setelah beberapa kali memencet bel rumah, ternyata yang membuka pintu rumah adalah Larissa. Saat melihat yang datang adalah Stefan,mucullah ekspresi kegembiraan yang terlihat dari wajah Larissa. “Mama, papa, Kak Stefan pulang..” teriak Larissa kecil yang merasa senang kakaknya kembali. Pastor Abner dan Stefan merasa terkejut saat melihat Larissa kecil begitu sangat antusias ketika bertemu kembali dengan kakaknya lalu ia memeluk kakak kesayangannya itu. “Kak Stefan, kakak jangan pergi lagi ninggalin Larissa. Larissa kesepian kalau kakak pergi.”Pinta Larissa dengan polos. Kedua orang tua Stefan pun masih sibuk mencari info mengenai keberadaan Stefan dengan para kerabat mereka, mereka pun segera memastikan apa yang dikatakan Larissa. Mereka pun akhirnya mendapati anak mereka yang semalam hilang telah kembali. Saat mereka bertemu dengan Stefan, yang terjadi justru ayahnya yang keras itu cenderung memarahi Stefan habis-habisan. Ayahnya mengusir Stefan dari rumah. “kamu ini sekarang sudah berani pergi nggak jelas kemana dari kemarin, tapi ternyata kamu masih ingat kalau kamu masih punya rumah hah! Dasarr anak nggak tahu aturan!  Plakkk !!!! Lebih baik sekarang kamu pergi dari rumah ini! Dan jangan pernah kembali lagi ke rumah ini!!” Bentak papa Stefan sambil membanting dengan keras pintu rumahnya. Melihat kejadian itu suasana menjadi sangat kacau. disisi lain Larissa, adik Stefan menjadi menangis saat melihat kakaknya yang baru tiba justru malah diusir dari rumah. Kejadian tersebut ternyata juga telah membuat tetangga sekitar rumahnya melihat kejadian itu. Pastor Abner yang merasa tidak tega melihat Stefan diperlakukan seperti itu, bahkan sampai harus disaksikan beberapa orang tetangganya dan akhirnya memutuskan untuk mengajak Stefan kembali ke rumahnya sementara waktu dan berencana akan kembali lagi ke rumah Stefan jika kondisi psikologisnya sudah membaik.          
      Setelah kejadian siang itu entah mengapa Stefan yang dulunya menjadi kebanggaan orang tuanya kini ia merasa sangat benci pada orang tuanya, terlebih ayahnya. Sejak kejadian itu Stefan menjadi anak yang pendiam dan tidak bisa mengontrol emosi kemarahannya.
      Saat malam tiba pastor Abner masuk dalam kamar Stefan dan melihat Stefan sedang menggambar sesuatu. “Engkau manggambar apa anakku? Siapa saja yang kamu gambar itu? Dan mengapa gambar 2 orang di sebelah kiri itu kamu coret-coret dengan warna merah? Sedangkan 3 orang yang di sebelahnya tidak? ”Tanya pastor Abner yang sedikit  merasa penasaran dengan maksud gambar yang dibuat Stefan.“Stefan sedang menggambar keluarga Stefan. Gambar yang aku coret-coret itu gambar papa dan mama. Sedangkan gambar yang tidak aku coret-coret itu Stefan, Larissa dan Pastor Abner” jelas Stefan sambil menunjukkan maksud gambar itu dengan singkat. Pastor Abner pun sedikit terkejut dengan arti gambar yang dibuat Stefan. “Anakku, saya bisa mengerti dengan kondisi perasaanmu saat ini. Tapi tidak seharusnya kamu menggambar kondisi keluargamu seperti ini anakku. Karena biar bagaimanapun mereka adalah orang tuamu.” Kata pastor Abner yang dengan sabar berusaha memberikan pengertian Stefan. “Tapi pastor, kemarin pastor melihat sendirikan? Orang tuaku sudah mengusirku dari rumah. Stefan sekarang sangat benci sama mereka. Stefan benci sama mereka. Stefan benci sama mereka, pastor.”Kata Stefan yang merasa sangat depresi lalu ia menangis dan berteriak sambil meremas-remas kertas yang terdapat gambar keluarganya dan memecah keheningan malam itu. “Anakku anakku, tenangkan pikiranmu dan kendalikan emosimu anakku.” Kata pastor Abner yang dengan penuh perhatian berusaha menenangkan emosi Stefan sambil memeluk anak itu. Setelah beberapa menit memeluk Stefan dan dirasa emosinya sudah kembali normal, akhirnya pastor Abner mencoba bicara perlahan-lahan dari hati ke hati dengan Stefan.  “Anakku Stefan, saya mengerti dengan apa yang kamu alami. Tapi tidak seharusnya kamu begitu sangat membenci kedua orang tuamu. Saya tahu sendiri bagaimana perlakuan kedua orang tuamu ketika kamu tiba di rumah, mereka justru mengusirmu bukan malah senang anaknya kembali ke rumah. Anakku, maafkan semua yang sudah mereka perbuat padamu.” Kata pastor Abner. “Tapi pastor, Stefan nggak bisa semudah itu memaafkan mereka.Perbuatan mereka kemarin sudah membuat Stefan menjadi begitu sangat sakit hati. Stefan sebenarnya mau-mau saja memaafkan mereka, tapi asalkan mereka dahulu yang meminta maaf dengan Stefan. ” Kata Stefan yang sedikit keras kepala dan emosinya yang tak terkendali. Mendengar perkataan Stefan , akhirnya pastor Abner pun mengerti apa yang dalam pikiran Stefan. “Anakku, jikalau kamu menghendaki demikian biarkan saya yang mewakiili kedua orang tuamu untuk meminta maaf kepadamu.” Kata Pastor Abner yang sambil memeluk Stefan dan meminta maaf. “Anakku, maafkan papa nak, papa selama ini kurang memperhatikan kamu.” Kata pastor Abner yang memeluk Stefan. Melihat apa yang sudah dilakukan pastor Abner padanya, Stefan pun akhirnya merasa tidak enak dan terharu dengan apa yang dilakukan pastor Abner. “Pastor,mengapa pastor yang harus meminta maaf dengan Stefan? pastor kan tidak punya salah sama Stefan, kenapa mesti pastor yang minta maaf?” kata Stefan yang merasa terharu dengan apa yang sudah dlakukan pastor Abner. Setelah agak lama pastor Abner memeluk Stefan, sampai Stefan benar-benar merasa sudah lega. “Anakku, kamu ingat tidak ketika kamu berbuat kesalahan dan jatuh dalam dosa, Tuhan itu selalu mau mengampuni kesalahanmu. Bahkan sebelum kamu memohon pengampunan padaNya, Dia sudah lebih dulu mengampuni kesalahanmu,anakku.” Kata pastor Abner yang menjelaskan pada Stefan dengan penuh kesabaran sambil menghapus air mata dipipi Stefan. Mendengar perkataan pastor Abner,akhirnya Stefan pun menjadi terdiam dan tidak bisa berkata-kata.”Stefan anakku, jikalau kamu masih merasa sulit untuk mengampuni orang tuamu. Mintalah kekuatan rahmat Allah agar kamu dapat mengampuni kedua orang tuamu.” Kata pastor Abner.”Ya sudah anakku, sekarang kamu istirahat dulu saja, mungkin pikiranmu masih lelah karena masih terbayang-bayang kejadian kemarin,anakku!”  Kata Pastor Abner yang kemudian berjalan keluar meninggalkan Stefan. “Pastor, tolong ajarkan Stefan untuk bisa mendoakan dan mengampuni kesalahan orang tua Stefan.” Pinta Stefan. Mendengar permintaan Stefan membuat pastor Abner menghentikan langkahnya. “Anakku, jikalau kamu menghendaki demikian saya dengan senang hati saya akan membantumu.”Kata pastor Abner yang kembali menghampiri Stefan sambil memeluknya. Kemudian pastor Abner duduk di samping Stefan dan mereka berdua pun mengambil sikap doa yang baik. “Allah Bapa Yang Maha Rahim, terima kasih karena Engkau selalu mengampuni segala dosa dan kesalahan kami. Bahkan sebelum kami datang untuk memohon ampun kepadaMu, Engkau sudah lebih dahulu mengampuni kesalahan kami. Tuhan, ajarilah kami untuk bisa dengan mudah mengampuni kesalahan orang-orang yang berbuat salah pada kami, terkhusus kami berdoa untuk Stefan. Tuhan Yang Maha Kasih, berikanlah Stefan rahmatMu, agar ia bisa dengan tulus hati mengampuni dan memaafkan orang tuanya. Tuhan doa yang jauh dari sempurna ini akan kami persembahkan dengan perantaraan Yesus,Tuhan dan pengantara kami. Amin” kata pastor Abner yang memimpin doa itu. Mendengar doa sederhana yang diucapkan oleh pastor Abner, hati Stefan terasa ada kekuatan yang menyentuh hatinya. “Pastor, terima kasih sudah mendoakan Stefan.” Kata Stefan yang akhirnya bisa kembali tersenyum lalu ia memeluk pastor Abner. “Sama-sama anakku, sekarang waktunya kau harus tidur. Selamat tidur anakku.” kata pastor Abner yang sengaja memperlakukan Stefan seperti anaknya sendiri “Selamat tidur juga, papa..”Jawab Stefan. Mendengar Stefan menyebutnya papa, pastor Abner hanya tersenyum, lalu berjalan keluar meninggalkan Stefan. Setelah pastor Abner meninggalkan Stefan, Stefanpun yang seorang diri di kamar akhirnya berdoa sebelum ia tidur. “Allah Bapa Maha Kasih, terima kasih karena Engkau selalu menyayangi aku. Walaupun aku tahu hubunganku dengan kedua orang tuaku belum kembali pulih seperti dulu, tapi aku bersyukur Engkau masih mengirimkanku seorang malaikatMu yang masih mau peduli dan menjadi penolong bagiku yaitu pastor Abner. Tuhan, aku tidak bisa membayangkan entah dulu bagaimana jadinya jika aku tidak ditolong oleh orang sebaik beliau, mungkin nyawaku sudah tidak tertolong lagi. Tuhan, aku mau berdoa secara khusus untuk beliau, berillah beliau kesehatan, panjang umur, bantulah beliau agar tetap setia pada  tugas dan panggilannya sebagai pelayanMu sampai akhir hayatnya. Dan tidak lupa aku juga berdoa untuk keluargaku. Tuhan, aku memohon kepadaMu, pulihkanlah kembali keluarga agar kami bisa bersatu akrab seperti dulu. Tuhan, aku pun dengan tulus hati sudah mengampuni dan memaafkan kesalahan orang tuaku. Tuhan, doaku yang sangat sederhana ini aku persembahkan padaMu dengan pengantaraan Yesus Kristus Tuhan kami amin.” Setelah berdoa demikian Stefan pun tidur.
      Esok harinya Stefan memutuskan untuk bangun lebih awal dari biasanya. Ia kemudian merebus air membuat teh lalu membuatkan sarapan spesial untuk pastor Abner. Pastor Abner yang baru saja bangun, mencium bau harum dari sebuah masakan dan terkejut saat melihat sudah tersedia beberapa makanan tersaji di meja makan. “Anakku, ternyata pagi-pagi kamu sudah bangun lebih awal. Terima kasih ya anakku, kamu sudah masak semua makanan ini. Lalu kalau papa boleh tahu masakan apa yang kamu masak ini?” puji pastor Abner pada Stefan sambil membelai kepalanya. “ iya dong pa, kan special buat papa. Ini ada sayur soup, ayam gooreng, dan tempe .”  Jelas Stefan. “Terima kasih banyak ya anakku, ternyata kamu bisa masak ya? tapi lain kali kamu tidak usah repot-repot begini.”Puji pastor Abner sekali lagi. “Stefan tidak merasa direpotkan kok pa. yang ada malah Stefan yang merepotkan papa karena sudah banyak dibantu dan boleh menginap di sini beberapa hari.”kata Stefan dengan jujur. “tidak apa­-apa anakku, papa juga senang kamu ada di sini.” Kata pastor Abner.
     Hari demi hari yang dilalui Stefan. Setelah beberapa hari ia tinggal bersama pastor Abner akhirnya mengalami banyak perkembangan, diantaranya ia berkembang menjadi pribadi yang semakin mandiri dan peduli. Pastor Abner yang semula mengenal Stefan dengan tingkat emosi yang tinggi dan mudah sekali marah akibat sakit hati dengan kedua orang tuanya, akhirnya kini mengalami perubahan. Ketika itu pastor Abner mengamati Stefan yang menawarkan diri dengan sukarela untuk membantu merawat tanaman di halaman di kebun belakang. Sambil mengamati Stefan dari jauh, pastor Abner mendoakan Stefan dalam hati. Abner merasa sangat bersyukur pada Tuhan, karena walaupun ia seorang imam tapi Tuhan mempercayakan Stefan untuk bisa ia didik.
    Suatu pagi ketika Pastor Abner sedang mengurus kebun belakang, Stefan datang sambil membawa tas. “Pastor, terima kasih karena sudah mengijinkan Stefan untuk tinggal di sini. Terima kasih sudah mendidik Stefan agar menjadi lebih baik lagi. Maaf kalau selama ini sudah merepotkan pastor.” Kata Stefan yang kemudian beranjak pergi meninggalkan pastor Abner. Melihat Stefan beranjak pergi, akhirnya pastor Abner membereskan pekerjaannya dan berniat mengantar Stefan. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia hanya diam tanpa mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Melihat Stefan yang sedemikian, pastor Abner hanya diam sambil focus mengendarai mobilnya. 
    Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, akhirnya mereka sampai di rumah Stefan. Tiba di rumah, Stefan disambut oleh pembantunya. Ketika itu Larissa adiknya keluar dari kamar, ketika melihat Stefan ia merasa senang kakaknya kembali. Larissa pun menngatakan kerinduannya pada kakaknya yang selama ini. Melihat keakraban antara Larissa dan Stefan, pastor Abner sangat bersyukur. Ketika mereka sedang bercakap-cakap, Bi Inah mendadak menjadi sangat panic ketika masuk ke kamar,melihat Bu Ane muntah-muntah di kamarnya. Saat bertemu kakaknya Larissa lupa kalau saat itu ibunya sedang sakit.  Melihat BI Inah yang terlihat sangat panik, akhirnya Pastor Abner, Stefan, dan Larissa bergegas menuju kamar ibunya. Melihat kondisi Ibu Ane yang sangat lemas akhirnya Pastor Abner dan Stefan memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Larissa yang  itu usianya masih di bawah 12 tahun, terpaksa harus tinggal di rumah bersama Bi Inah.        
     Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit,Stefan terus berdoa untuk keselamatan ibunya. Saat itu pastor Abner dengan sangat focus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Akhirnya tibalah mereka di rumah sakit. Ketika sampai di sana, ibu Stefan langsung ditangani oleh para petugas medis. Saat itu pastor Abner melihat wajah Stefan  menjadi sangat lesu melihat kondisi ibunya yang seperti itu. Akhirnya mengajak Stefan untuk mendoakan kesembuhan ibunya. Setelah kurang lebih setengah jam, akhirnya dokterpun keluar dan memberitakan kalau ibu Stefan tidak apa-apa hanya butuh istirahat beberapa waktu. Stefan dan Pastor Abner pun akhirnya diperbolehkan masuk.  Di sana Stefan melihat kondisi ibunya yang masih tak sadarkan diri.  Pastor Abner pun mengerti bagaimana perasaan Stefan saat itu.
        Ketika itu Stefan yang merasa kelelahan akhirnya ia tertidur di samping tangan ibunya. Saat itu ia merasakan tangan ibunya yang masih tersambung dengan selang infuse akhirnya mulai bergerak. Stefan pun akhirnya terbangun, dan merasa senang melihat ibunya sudah kembali sadar. Melihat ibu Stefan, Pastor Abner pun segera memanggil dokter. Setelah diperiksa kembali, dokter menyatakan bahwa kondisi ibu Stefan sudah sadar. Ketika ibunya sudah kembali sadar, Stefan pun langsung meminta maaf pada ibunya atas segala perbuatan yang sudah ia lakukan selama ini. Ibunya pun hanya bisa menangis, memeluk anaknya dan meminta maaf. Ibunya juga merasa bersalah, karena selama Stefan tidak berada ia tidak mencarinya, tapi mendukung suaminya mengusir Stefan. Ibunya merasa bahwa ia sebagai istri tidak bisa meredam emosi suaminya. Setelah mereka saling meminta maaf, Stefan pun memperkenalkan Pastor Abner pada ibunya. Stefan menceritakan bahwa ia tidak berada di rumah, ia banyak mendapat didikan dari Pastor Abner.  Mendengar Stefan berkata demikian, Ibunya merasa berterima kasih pada Pastor Abner yang telah mendidik Stefan selama beberapa waktu. Dengan rendah hati Pastor Abner mengatakan, bahwa ia merasa senang bisa ikut mendidik Stefan agar bisa menjadi pribadi yang lebih dewasa lagi.
          Jam makan malam tiba, Stefan pun membantu menyuapi ibunya untuk makan malam. Ketika itu ayahnya yang baru pulang dari kantor, tiba-tiba masuk dan saat melihat Stefan ada di situ emosinya mulai tak terkendali. Melihat suasana yang berubah menjadi ribut, Ibu Stefan pun yang kondisinya masih lemah pun berusaha untuk meredam kemarahan suaminya. Ayah Stefan yang saat itu emosinya tidak terkendali, terus-menerus menyalahkan Stefan kalau dialah yang menyebabkan ibunya jatuh sakit. Keributan tersebut ternyata sudah mengganggu para pasien yang lain. Stefan pun berusaha meminta maaf dengan ayahnya, tapi saat itu situasi tidak memungkinkan. Ayah Stefan merasa tidak ingin melihat Stefan dan memanggil satpam agar mengusir Stefan dari kamar ibunya. Untuk menenangkan suasana Stefanpun akhirnya dengan sukarela keluar dari kamar ibunya tanpa harus diusir oleh satpam.        
       Melihat kondisi psikologis Stefan yang merasa putus asa dan merasa bersalah, akhirnya Pastor Abner pun mengajak Stefan untuk makan malam. Ketika itu Stefan berkata pada Pastor Abner, “Untuk apa Stefan harus minta maaf pada Ayah Stefan, kalau Ayah juga tidak mau memaafkan kesalahanku!” kata Stefan yang berkata demikian dan dengan penuh emosi. Pastor Abner pun mengerti bagaimana perasaan Stefan. Setelah makan malam selesai, akhirnya Stefan pun pulang kembali bersama Pastor Abner.
     Ketika suasana dirasa sudah mulai tenang, ibu Stefan perlahan-lahan mulai memberikan pengertian pada suaminya agar mau memaafkan Stefan. Mendengar istrinya berkata demikian, emosi suaminya mulai tak terkendali. Dengan penuh emosi suaminya memberikan dua pilihan, kalau istrinya mau menerima Stefan, maka suaminya yang akan pergi. Sebaliknya jika istrinya memilih suaminya, maka Stefanlah yang harus pergi dari rumah. Sebagai istri ia ingin agar keluarganya dapat berkumpul kembali, tapi di sisi lain ia juga tidak berani membantah perkataan  suaminya. Maka istrinya memilih untuk diam ketika suaminya memberikan dua pilihan tersebut. Ia tidak ingin emosi suaminya semakin memanas dan menimbulkan keributan di rumah sakit.
    Selama perjalanan pulang kembali ke tempat pastor Abner, Stefan yang merasa kelelahan akhirnya tertidur. Melihat Stefan yang tertidur di mobil, pastor Abner pun menghentikan mobilnya sejenak. Pastor Abner pun mengelus-elus kepala Stefan, dan dalam hati ia berdoa bagi Stefan, “Tuhan, kuatkanlah Stefan dalam menghadapi masalah yang ia alami saat ini. Tegarkanlah dia ya Tuhan, agar dalam menghadapi masalah yang ia alami, jangan sampai ia merasa sendirian dan putus asa. Tuhan, pakailah aku pelayanMu yang berdosa ini, agar bisa menghibur dan menguatkan hatinya terutama dalam menghadapi masa-masa sulitnya saat ini.”  Setelah berdoa demikian pastor Abner pun melanjutkan perjalanan pulang.
       Malam harinya ketika semua orang sudah terlelap tidur, Stefan yang sebelum juga sudah tidur tiba-tiba ia menggigau dengan keras sambil berteriak, “Stefan, benci ayah, benci, Stefan benci ayah.” Mendengar Stefan yang berkali-kali menggigau dengan keras, pastor Abner yang kamarnya bersebelahan dengan kamar Stefan akhirnya terbangun dan segera menuju ke kamar Stefan. Saat berada di kamar Stefan, pastor Abner segera membangunkan Stefan agar ia tidak menggigau terlalu larut. “Stefan anakku, bangun nak, ini papa!” Akhirnya setelah berkali-kali pastor Abner berkata demikian, Stefan pun akhirnya sadar dan terbangun. Setelah Stefan bangun dan sadar, pastor Abner memberikannya minum dan menanyakan apa yang menyebabkannya menggigau sampai seperti itu. Stefan pun akhirnya menceritakan dengan jujur kalau ia` bermimpi bertemu dengan ayahnya. Mendengar Stefan yang berkata demikian, pastor Abner pun mengerti apa yang sedang dirasakan Stefan. Pastor Abner pun memeluknya dan mengajak Stefan untuk berdoa bersama. Setelah itu pastor Abner pun menyuruh Stefan untuk tidur kembali.
      Keesokan harinya setelah mengikuti misa pagi, Stefan pun tidak segera sarapan bersama pastor Abner ia justru memilih duduk di taman di seberang kapel. Ia pun duduk di situ dengan wajah yang murung. Pastor Abner yang merasa sudah lapar, segera mencari untuk mengajak sarapan bersama. Ketika sampai di dekat pintu, pastor Abner melihat dari balik jendela sedang duduk sendirian seorang diri sambil melempar batu ke kolam. Pastor Abner mengetahui Stefan mengapa kelakuannya berubah seperti itu.Segeralah pastor Abner menghampiri Stefan untuk mengajaknya sarapan bersama. Saat mulai mendekati Stefan, pastor Abner melihat Stefan yang penuh emosi melemparkan batu ke kolam sambil berteriak. “Tuhan, kenapa Engkau membuat hidupku menjadi seperti ini? Kenapa Engkau memberikan aku orang tua yang seperti itu? Yang tidak mau memaafkan kesalahan anaknya? Kenapa Tuhan? Kenapa? Tuhan, kalau saja aku boleh memilih, aku nggak akan pernah mau hidup dengan mereka! Stefan nggak mau Tuhan! Stefan nggak mau! Stefan benci keluargaku!!! Arrgghhh!!!!!! teriak Stefan yang penuh dengan emosi. Melihat dan mendengar Stefan sedang mengalami stress berat, pastor Abner dalam hati berkata, “Tuhan, apa yang harus aku perbuat untuk menolong Stefan?” Setelah itu pastor Abner berusaha menghentikan apa yang sedang diperbuat oleh Stefan. “ Stefan anakku, tolong berhentilah nak untuk menyalahkan Tuhan! Berhentilah juga menyalahkan keluargamu anakku! Karena semua yang diberikan Tuhan itu baik dan tidak ada yang salah. Dan semua yang diberikan-Nya adalah yang terbaik untukmu, anakku. Jadi mulai sekarang mengertilah anakku. Anakku, tenanglah walaupun kamu merasa tidak dihargai oleh keluargamu, tapi papa masih tetap akan mau menganggapmu sebagai anak. Sekarang tenangkanlah pikiranmu anakku.” kata pastor Abner yang memeluk Stefan agar ia merasa sedikit tenang. Stefan yang berada dalam pelukan pastor Abner merasa tidak berkata-kata, ia hanya menangis. Dalam hati Ia merasa sangat bersyukur ternyata Tuhan masih menyayanginya lewat kehadiran pastor Abner.
      Sore harinya ketika semua pekerjaan rumah selesai, tiba-tiba Stefan mendatangi pastor Abner yang saat itu sedang membaca Koran.“Pa, bolehkah Stefan meminta Sakramen Pengakuan Dosa?” Kata Stefan yang seperti sedang mengalami problematika berat yang sedang ia alami. Akhirnya tanpa menunggu waktu lama pastor Abner  meengangguk dan segera menggiyakan permintaan Stefan. Akhirnya setelah mengganti jubah, pastor Abner mengajak Stefan masuk ke ruang kerjanya. Di sana Stefan mengakui  kalau sikap dan perilakunya selama ini cenderung kurang dewasa dalam mengalami berbagai masalah yang ia alami dan selama ini ia pandangan negative tentang keluarganya  sendiri. Mendengar pengakuan dan kesadaran yang tulus dari hati Stefan, pastor Abner hanya tersenyum dan mengangguk. Pastor Abner merasa senang akhirnya Stefan mau mengakui kelemahan dan kekurangannya serta berjanji untuk berubah menjadi lebih baik lg. Setelah itu Pastor Abner mengajak Stefan untuk berdoa bersama.  Sejak saat itu Stefan berjanji untuk berubah menjadi pribadi dewasa serta mau mendoakan dan memaafkan keluarganya.
                  Malam harinya sesudah makan malam, pastor Abner terlihat sibuk di ruang kerjanya. Melihat hal itu, Stefan pun berinisiatif membuatkan teh hangat dan cemilan ke ruang kerja pastor Abner. “Lagi sibuk pa?” Tanya Stefan yang sedikit penasaran. “Iya ini nak,lagi siapin kotbah untuk misa besok pagi.” Jelas pastor Abner. “Memang bacaannya besok tentang apa pa?” Tanya Stefan yang sedikit penasaran. “Perumpamaan tentang anak yang hilang. Kamu bisa nggak bantu papa?” pancing pastor Abner.”Bantu apa pa?” “Bantu papa kasih ide untuk siapin kotbah untuk besok. Gimana nak? Kamu mau?” pancing pastor Abner. “Ya pa Stefan coba ya? Tapi kalau idenya kurang pas papa jangan kecewa ya?” Kata Stefan yang merasa ragu-ragu ketika diminta membantu membuat kotbah. Saat itu mereka berdua saling menuangkan ide untuk membuat kotbah tersebut. Melihat Stefan jari tangan Stefan yang dengan lincah sedang asyik menari di atas laptop sambil menuangkan ide-idenya, pastor Abner yang duduk di samping Stefan merasa bangga melihat Stefan. Dalam hati pastor Abner berkata,”Hanya ini Tuhan yang bisa aku lakukan untuk membantu Stefan.” Akhirnya beberapa menit kemudian ternyata Stefan sudah merampungkan pekerjaan itu. Ketika itu pastor Abner tidak sabar membaca hasil karya Stefan. Setelah pastor Abner selesai membacanya ternyata Stefan juga menyisipkan cerita ilustrasi yang cukup menyentuh hati bagi orang yang membacanya. Pastor Abner menduga Stefan mempunyai bakat dalam menulis dan mengarang. “Terima kasih ya nak, kamu sudah mau membantu papa. Papa bangga membaca hasil tulisanmu ini. Anakku, papa lihat kamu punya bakat menulis. Anakku, kembangkanlah bakat dan kemampuanmu itu nak. Oh ya nak, kamu juga boleh kok pinjam laptop di ruang kerja papa, kalau misal kamu sedang ada waktu luang tiba-tiba ingin menulis cerita atau puisi. Yang jelas papa sangat mendukung bakatmu dalam menulis itu anakku.” Kata pastor Abner yang berusaha menguatkan kembali semangat dan motivasi Stefan untuk mau mengembangkan bakatnya. “Terima kasih banyak pa. sebenarnya sudah sejak dahulu Stefan suka menulis cerita pendek. Bahkan ketika SMP Stefan pernah ikut lomba menulis cerita pendek mewakili sekolah, tapi Stefan kalah sih pa hehe.” Kata Stefan jujur. “ya nggak apa-apa anakku, kalah atau menang itu bukan hal yang diutamakan, yang penting bagaimana cara kita  berusaha mengembangkan bakat yang sudah Tuhan berikan. Kamu mengertikan anakku?” Jelas pastor Abner sambil memeluk anak kesayangannya itu.” “Stefan mengerti pa..” Jawab Stefan yang terlihat bahagia berada dipelukan pastor Abner.
                  Beberapa hari setelah itu Stefan pun setiap sore mulai menggunakan waktu luangnya untuk menuangkan ide dalam sebuah cerita pendek. Terkadang pada malam harinya saat pastor Abner mempersiapkan kotbah untuk esok pagi, selalu membaca hasil karya tulisan Stefan. Hari demi hari Stefan pun mampu membuat sebuah cerita pendek dalam satu hari. Stefan pun dalam  menulis cerita banyak mengambil dari pengalaman hidupnya. Memang bagi Stefan menulis sebuah cerita pendek yang diambil dari pengalaman hidupnya bukanlah perkara yang mudah. Walaupun begitu ia merasa senang karena bisa berbagi pengalaman dengan orang lain.  
                Suatu kali ketika pastor Abner sedang sibuk dengan laptopnya dan membaca kumpulan cerita yang ditulis oleh Stefan, pastor Abner merasa kalau cerpen Stefan cukup pantas untuk diterbitkan ke majalah atau Koran. Lalu pastor Abner memanggil Stefan ke ruang kerjanya. Stefan pun masuk lalu duduk di samping pastor Abner. “Anakku, papa sudah membaca semua cerpen-cerpenmu. Anakku,papa hanya ingin memberimu saran, bagaimana kalau cerpen-cerpenmu ini kamu coba kirimkan ke majalah? Siapa tahu bisa dipublikasikan dan nantinya kamu sendiri yang akan merasa banggakan anakku? Lagipula cerpen-cerpenmu ini sangat inspiratif.” Kata pastor Abner yang memberikan motivasi untuk Stefan. “Tapi pa, cerpen yang Stefan tulis masih sangat sederhana, jadi mana mungkin ada majalah yang mau mempublikasikannya?” jawab Stefan yang sengaja merendah dan merasa ragu-ragu. “Anakku, sekarang yang terpenting adalah kamu harus mencobanya terlebih dahulu. Lagian tidak ada yang salahkan kalau mencoba? Entah nantinya cerpenmu dipublikasikan atau tidak itu urasan terakhir.” Jelas pastor Abner yang memberikan motivasi untuk meyakinkan Stefan. Akhirnya berkat suntikan motivasi yang diberikan oleh pastor Abner, Stefan pun mencoba saran yang diberikan pastor Abner. Ia pun mengirimkan hasil karyanya ke beberapa majalah dan surat kabar.  
                 Satu minggu kemudian seorang tukang pos datang mengantarkan sesuatu ke pastoran. Ternyata ada sebuah surat ditujukan kepada Stefan. Setelah dibuka ternyata di dalam berisi uang dan sebuah surat. Stefan  pun akhirnya merasa senang karena cerpennya berhasil dimuat di majalah tersebut. Bahkan dari pihak redaksi menuliskan dalam surat itu akan menampilkan karya Stefan yang lain untuk beberapa edisi ke depan. Stefan pun yang mendapatkan surat itu merasa  sangat senang dan ia pun tidak sabar menceritakan ini pada pastor Abner.
                  Sore harinya ketika hari mulai gelap tibalah pastor Abner ke rumah. Yang setelah setelah seharian mengunjungi suatu stasi. Saat badan terasa lelah dan perut mulai lapar, ternyata  di ruang makan sudah tersedia beberapa makanan yang sengaja dimasak oleh Stefan untuk pastor Abner. Pastor Abner pun merasa heran mengapa ada makanan sebanyak ini. Pastor Abner kemudian memanggil Stefan untuk menanyakan dari mana makanan sebanyak ini. “Stefan anakku, kamu tahu darimanakah asal makanan sebanyak ini? Siapa yang memberikannya?” Tanya pastor Abner yang merasa sangat penasaran. Ketika ditanya demikian Stefan hanya tersenyum sambil menggoda pastor Abner. “hmmm dari siapa ya pa? Stefan nggak tahu tuh pa? haha” kata Stefan yang sambil berlari menggoda pastor Abner. “hmm oh gitu  ya sekarang kamu?” Kata pastor Abner yang juga menggoda Stefan dan berusaha mengejarnya. Akhirnya setelah beberapa saat Stefan  berlari sambil menggoda pastor Abner, akhirnya pastor Abner berhasil menangkap Stefan sambil menggelitikinya. “Hayo ngaku nggak itu dari mana asal makanan sebanyak  itu?” kata pastor Abner sambil menggelitiki Stefan agar ia mau mengaku. Akhirnya setelah beberapa saat kemudian, Stefan pun menyerah. “haha pa.. ampun pa. ampun.. Stefan nyerah deh.. papa yang menang” kata Stefan yang merasa lelah karena digelitiki pastor Abner.  “haha akhirnya kamu nyerah juga. Lagipula papa juga capek kok.. haha”   “Akhirnya mereka berdua pun kelelahan, pastor Abner mengajak Stefan duduk di sampingnya, dan menanyakan kembali dari mana asal makanan itu. Stefan pun akhirnya menceritakan dari asal semua makanan itu. “Jadi begini pa, cerpen yang kemarin Stefan kirim ke majalah, Puji Tuhan bisa dipublikasikan. Terus tadi siang ada tukang pos ngasih surat, ternyata isinya uang dan majalah sebagai bukti cerpen hasil karya Stefan dimuat. Bahkan  pihak redaksinya mengatakan untuk majalah edisi berikutnya akan mempublikasikan kembali cerpen Stefan yang lain. Terus uang hasil dari majalah tadi Stefan pakai untuk belanja bahan-bahan. Stefan ingin  memasak makanan yang special buat papa. Stefan tahu mungkin  kalau bukan karena papa yang selalu memberikan motivasi, Stefan nggak akan bisa seperti ini. Terima kasih ya paa..” Jelas Stefan sambil menunjukkan hasil karyanya yang dimuat di majalah lalu memeluk pastor Abner. Mendengar kejujuran Stefan, pastor Abner merasa bangga dan terharu. “Anakku, papa merasa bangga karena cerpenmu berhasil dipublikasikan, tapi anakku uang hasil kerja kerasmu ini lebih baik kamu tabung saja. Sebelumnya terima kasih karena kamu sudah mau memasakkan papa makanan yang banyak dan special ini, tapi lain kali tidak usah repot-repot begini. Bagi papa cerpen hasil karyamu berhasil diterbitkan, papa sudah cukup  merasa senang.” Jelas pastor Abner sambil memeluk Stefan. “Anakku, teruslah berkarya dan kembangkanlah bakatmu ini. Walaupun cerpenmu berhasil diterbitkan jangan pernah kamu merasa sombong, tetaplah menjadil orang yang rendah hati! Pesan pastor Abnerr kepada anak angkat kesayangannya itu.
                Malam harinya setelah makan malam, ayah Stefan sedanng asyik membaca dan sibuk membolak-balik halaman demi halaman. Hingga pada halaman bagian cerpen. Saat itu ayahnya merasa terkejut saat melihat ada foto Stefan dalam majalah itu. Lalu dengan segera menutup majalah itu dan menaruhnya dengan tergesa-gesa. Saat itu istrinya yang ada di sebelahnya sedang menonton tv, merasa heran ketika melihat ekspresi suaminya yang terlihat sangat ketakutan  dan segera bergegas menuju ke kamar. Istrinya pun yang merasa penasaran dengan kelakuan suami yang mendadak menjadi ketakutan. Lalu segera istrinya mengambil majalah itu, dan berusaha mencari apa yang membuat suaminya menjadi ketakutan seperti itu. Istrinya pun membuka halaman demi halaman ,namun ia tidak menemukan hal yang menakutkan dalam majalah itu.
                  Ketika tengah malam, ayah Stefan tidak bisa tidur pikirannya masih dihantui oleh foto Stefan di majalah tadi. Akhirnya untuk mengurangi perasaan takutnya, akhirnya memutuskan untuk pergi keluar rumah. Istrinya yang sedang terlelap tidur tidak tahu kalau suaminya tidak berada di situ.
                  Pukul setengah dua malam tiba-tiba telepon rumah berdering. Saat itu istrinya terbangun dan merasa terkejut saat melihat suaminya tidak berada di sampingnya. Dengan segera ia menjawab telepon itu. Betapa terkejutnya saat mendengar kabar dari polisi yang mengabarkan bahwa mobil yang dikendarai suaminya  tiba-tiba menabrak pembatas jalan. Mendengar kabar dari polisi istrinya pun segera menuju ke rumah sakit.              
                  Sepuluh menit kemudian istrinya pun tiba di rumah sakit. Saat itu istrinya segera menanyakan pada dokter bagaimana kondisi suaminya.Dokter mengatakan bahwa suaminya mengalami patah tulang yang diakibatkan tabrakan yang sangat kuat dan akhirnya mengakibatkan kaki kirinya patah.  Istrinya yang merasa kekelahan akhirnya tertidur di samping tangan suaminya.
                   Ketika matahari mulai terbit, tiba-tiba ia mendengar suaminya menggigau sambil menyebut-nyebut nama Stefan. Mendengar suaminya yang seperti itu istrinya segera memanggil dokter. Setelah dokter memanggil memeriksa kondisi suaminya, dokter pun menanyakan siapakah Stefan itu. Dokter pun  menyarankan supaya istrinya  segera membawa Stefan pada suaminya. Karena kalau tidak suaminya pasti akan terus-menerus memanggil nama Stefan. Mendengar saran yang diberikan dokter, istrinya pun bingung harus berbuat apa. Ia sendiri tidak tahu dimana Stefan saat ini.
              Sepanjang perjelanan pulang guna mengambil barang-barang yang diperlukan suaminya. Istrinya terus menerus memkirkan bagaimana cara menemukan Stefan kembali. Ketika sampai di rumah ibunya disambut Larissa. Larissa yang mengetahui kalau ayahnya kecelakaan terus menerus merengek ingin menjenguk ayahnya di rumah sakit. akhirnya setelah semuanya siap, ibu dan Larissa segera menuju ke rumah sakit.
                   Saat Larissa dan ibunya tiba di rumah sakit, mereka melihat kondisi belum membaik. Saat melihat ayahnya, Larissa melihat ayahnya yang masih tidak sadarkan diri sambil menyebut-nyebut nama kakaknya. Melihat ayahnya yang terus-menerus menyebut nama Stefan, Larissa pun teringat kalau ia masih menyimpan kartu nama yang diberikan pastor Abner. Larissa pun kemudian mengatakan pada ibunya kalau ia masih menyimpan kartu nama yang diberikan oleh pastor Abner beberapa waktu lalu. Mendengar Larissa berkata demikian akhirnya merasa sedikit lega, dan berharap ia dapat segera bertemu dengan Stefan. Ibunya pun mencoba menghubungi di nomor yang ada di kartu nama pastor Abner, tapi tidak ada jawaban sekalipun. Akhirnya tanpa berpikir panjang, ibunya bergegas menuju alamat yang tertera di kartu nama tersebut.
                  Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, akhirnya tibalah ibu Stefan di sebuah kapel kecil seperti yang tertera alamat pada kartu nama. Ibu  Stefan mencoba membunyikan bel pintu pastoran, tapi tidak ada jawaban. Saat itu ternyata Stefan dan pastor Abner sedang sibuk di taman belakang. Mendengar bel pintu rumah berbunyi pastor Abner menyuruh Stefan melanjutkan pekerjaannya sedangkan pastor Abner bergegas segera membukan pintu. Saat membukakan pintu pastoran, pastor Abner merasa tidak asing dengan tamu tersebut. Pastor Abner berusaha mengingat-ingat wajah tamu tersebut, dan merasa pernah bertemu ,tapi entah dimana.
                   Setelah dipersilahkan masuk dan memperkenal diri, barulah pastor Abner sadar kalau ternyata tamu tersebut ibu dari Stefan. Di sana ibu Stefan menceritakan semua yang terjadi dengan keluarganya terutama kondisi ayahnya, berharap ibunya bisa bertemu Stefan dan mengajaknya pulang untuk bisa bertemu dengan ayahnya. Setelah mendengar cerita dari ibu Stefan. Pastor Abner pun segera menuju ke belakang untuk mengajak Stefan bertemu dengan ibunya. Melihat ibunya yang datang ke tempat itu, Stefan pun merasa sangat senang. Pastor  Abner pun menjelaskan maksud kedatangan ibu Stefan ke tempat itu. Saat mendengar ayahnya sedang sakit di rumah sakit dan terus-menerus menyebut namanya, Stefan pun merasa enggan untuk bertemu dengan ayahnya. Ia akhirnya meninggalkan pastor dan ibunya, lalu kembali ke taman belakang. Melihat perilaku Stefan yang seperti itu, ibu Stefan menangis sambil memohon pada pastor Abner agar mau membujuk Stefan untuk pulang dan bertemu dengan ayahnya.
          “Tuhan, biar saja ayah mati di rumah sakit! Lagipula mana ada orang tua yang tega mengusir anaknya,padahal sebelumnya hilang? Mana ada Tuhan? Mana ada? Jujur saja Tuhan, Stefan masih belum bisa maafin ayah! Hati Stefan masih sakit waktu ayah mengusir Stefan dari rumah!” kata Stefan yang emosinya kembali meluap-luap. Stefan tidak menyadari kalau pastor Abner mendengar apa yang ia katakan.  “Tuhan apa yang bisa aku lakukan untuk meluluhkan hati Stefan agar ia mau bertemu dengan ayahnya? Tuhan, pakailah hambaMu yang berdosa dan lemah ini untuk bisa menolong Stefan dan keluarganya agar mereka dapat kembali utuh seperti sediakala.” kata pastor Abner dalam hati ketika melihat-mendengar Stefan berkata demikian. Akhirnya pastor Abner berusaha mengajak Stefan untuk bicara empat mata dan dari hati ke hati. Cukup lama memang mereka berbicara empat mata, namun berkat kesabaran serta pengertian dari pastor Abner,Stefan pun akhirnya bersedia untuk pulang dan bertemu dengan ayahnya.
                    Ketika hari sudah malam mereka bertiga pun akhirnya tiba di rumah sakit. Saat itu mereka mendapati kondisi ayah yang masih belum sadarkan diri. Stefan pun memberanikan diri untuk duduk di samping tempat tidur ayahnya sambil menggenggam dan mencium tangan ayahnya yang masih terpasang selang infus. Melihat Stefan melakukan itu, pastor Abner meminta Stefan agar ia  mau dengan tulus memaafkan semua ayahnya. Setelah itu Pastor Abner m yang memimpin doa memohon kesembuhan untuk ayah Stefan.
                     Beberapa saat kemudian saat Stefan, ibunya, dan pastor Abner sedang menyantap makan malam,sekaligus menunggui ayah mereka. Tiba-tiba Stefan melihat tangan ayahnya yang sudah mulai bergerak. Melihat tangan ayahnya yang sudah mulai bergerak-gerak, Stefan pun segera memanggil dokter. Dokter pun segera memeriksa kondisi ayah Stefan. Sekali lagi pastor Abner mengajak berdoa agar kondisi ayah Stefan semakin membaik. Beberapa menit dokter telah selesai memeriksa, dan memberi kabar kalau ayah Stefan sudah sadar. Setelah mendengar dokter berkata demikian, Stefan pun segera menggenggam  dan mencium tangan ayahnya serta meminta maaf. Saat mengetahui anak laki-laki satu-satunya menggenggam dan mencium tangannya, ayahnya pun akhirnya menangis terharu melihat apa yang telah dilakukan oleh Stefan kepadanya. Ayahnya pun akhirnya dengan tulus memaafkan Stefan, sekaligus meminta maaf atas apa yang sudah ia perbuat pada Stefan. Ayahnya memeluk erat anak laki-laki kesayangannya.       

                  Melihat Stefan dan ayahnya kembali akrab seperti sediakala, pastor Abner dalam hati merasa bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan karena telah mempersatukan kembali. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar